SEJARAH TEMPAT ARUNG PALAKKA BERSUMPAH

CEMPALAGI MERUPAKAN TEMPAT ARUNG PALAKKA BERSUMPAH
Cempalagi adalah sebuah nama gunung yang terletak di pesisir teluk Bone. Tepatnya di Desa Mallari Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone (kira-kira 14 km di sebelah utara kota Watampone). Dilihat dari arah timur (Teluk Bone), ia nampak seperti (maaf) BH yang terapung. Sebelah selatan adalah Gunung Pallette dan yang disebelah utara itulah Cempalagi.
Tidak banyak orang mengetahui sebabnya mengapa gunung itu disebut dengan nama cempalagi. Sebab itu, bagi penduduk di sekitarnya pun saat ini mungkin menganggap nama itu aneh karena terbentuk dari dua kata dari bahasa yang berbeda. Cempa adalah kosa kata bahasa bugis yang berarti ‘asam jawa’ (boleh dalam arti pohon dan atau buah) sedangkan lagi lebih dikenal sebagai kosa kata bahasa Indonesia. Sebuah persambungan yang kurang serasi. Sebenarnya bagi orang bugis yang masih kental dengan bahasa ibunya mungkin pernah mendengarkan kata lagi itu sebagai bagian dari bahasa bugis, meskipun frekuensi yang sangat kecil karena kata itu memang jarang muncul dalam konteks percakapan sehari-hari. Apalagi saat ini kata tersebut posisi penggunaannya yang tepat lebih mudah digantikan dengan kosa kata dari Bahasa Indonesia yang sudah ‘dibugiskan’. Pada redaksi yang tepat lagi dalam bahasa bugis berarti ‘tersedia’. Dengan demikian cempalagi pohon asam yang tersedia. Penjelasan etimologis ini selaras dengan penuturan seorang warga setempat ketika menjelaskan mengapa gunung tersebut diberi nama itu. Menurutnya, dulu digunung itu terdapat pohon asam yang besar yang (tersedia) sering dijadikan sebagai tempat perlindungan di kala terjadi perang.
Terlepas dari keanehan namanya, dengan melihat kondisi alamnya, gunung tersebut sebenarnya mempunyai potensi wisata yang beragam. Potensi wisata tersebut antara lain wisata sejarah, wisata bahari/pantai, dan wisata alam Kaitannya dengan otonomi daerah yang sedang digagas dewasa ini gunung tersebut dapat diperhitungkan sebagai aset yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Bone di bidang pariwisata.

Wisata sejarah

Dilihat dari sisi historisnya, gunung tersebut merupakan bagian dari rangkaian sejarah Kerajaan Bone yang panjang. Menurut Andi Mappasissi (Ka Meseum Lapawawoi) di gunung itulah Baginda Arung Palakka (Raja Bone) mengucapkan sumpah untuk membebaskan rakyatnya dari ketertindasan sebelum melakukan rangkaian perjalanan panjang ke Kerajaan Buton untuk selanjutnya ke Batavia dan Pariaman; sebuah kerajaan lokal yang eksis di Pulau Andalas ketika itu. Selanjutnya ia menuturkan bahwa hal itu terjadi pada abad ke-17 ketika pasukan Kerajaan Gowa mengejar Arung Palakka dan pengikutnya ketika mengadakan pelarian setelah ia ditawan di Istana Gowa selama beberapa tahun. Sisi yang menarik dari aspek historis gunung itu bukan hanya berupa cerita seperti itu. Melainkan adanya beberapa ‘prasasti’ yang dapat disaksikan di beberapa situs. Ketika Arung Palakka mencapai puncak ‘kemurkaannya’, dengan kesaktian sebagai seorang raja ia mencakar (makkarebbe), menghettakkan tumitnya dengan kuat (mattuddu) dan bersumpah (mattanro) untuk membebaskan masyarakatnya pada suatu ketika. Ketiga hal yang dilakukan oleh Arung Palakka ini melahirkan tiga prasasti yang dimaksud yang berupa bekas cakaran (akkarebbeseng), bekas hentakan kaki/tumit (attuddukeng). Keduanya di atas batu. Kemudian sumpah untuk membebaskan rakyatnya dari segala ketertindasan dibuktikan dengan simpul (singkeru’) karena dalam tradisi orang bugis keseriusan sumpah biasanya dilambangkan dengan simpul mati. Maka dari itu prasasti tersebut dikenal dengan nama assingkerukeng.
Masyarakat di sekitar kawasan tersebut pasti mengenal betul di mana ketiga prasasti itu berada. Akkarebbeseng (bekas cakaran) ditemukan pada batu di dinding gua sebelah kiri ketika turun sebelum mencapai sumur. Bagi masyarakat setempat gua tersebut disebut liang laung’e (gua yang lama). Dikatakan demikian karena gua tersebut merupakan gua pertama di antara dua gua yang sering dikunjungi sebagai tempat rekreasi. Assingkerukeng (simpul) diketemukan di sebuah gua di sebelah utara gunung (dekat pantai). Uniknya yang disebut sebagai assingkerukeng itu berupa batu yang bentuknya lain dari pada yang lain. Sampai saat ini tempat tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan banyak dikunjungi orang memberikan sesajen untuk memohon berkah. Layaknya di tempat keramat lainnya, di tempat ini pengunjung harus menjaga sikap untuk menghindari kualat makhluk ghaib yang menghuninya. Attuddukeng diketemukan di kaki gunung sebelah timur (tidak jauh dari pemukiman penduduk) di atas lempengan sebuah batu berupa lubang yang berukuran kira-kira 35 cm. Sebenarnya tempat itu merupakan bagian dari laut. Maka dari itu ia hanya kelihatan saat pasang sedang surut. Uniknya, meskipun berada di bagian laut, mata air yang menggelembung dari bawah dijadikan sebagai sumber air tawar oleh penduduk setempat di kala musim kemarau. Sebenarnya bila dilihat fisiknya sekarang, mungkin susah dipercaya bahwa lubang tersebut sebagai bekas kaki Arung Palakka karena terlalu besar untuk ukuran kaki. Akan tetapi boleh jadi keunikan itulah sehingga diperlebar oleh masyarakat setempat demi memenuhi kebutuhan akan air tawar pada waktu-waktu tertentu. Atau boleh jadi ukuran kaki Arung Palakka memang melebihi ukuran kaki orang lain pada umumnya. Pada kunjungan terakhir penulis ke tempat tersebut, (Desember 2009), lubang yang disebut sebagai attuddukeng itu, semakin jauh dari bentuk aslinya.

Wisata Pantai/Bahari

Pesona cempalagi sebagai ajang rekreasi bukan hanya sebatas paparan di atas. Letaknya di pesisir teluk Bone sebenarnya memungkinkan untuk dikembangkan menjadi obyek wisata pantai dan wisata bahari. Sebagai pantai, cempalagi menjanjikan panorama yang elok. Di pagi hari yang cerah, orang dapat menyaksikan bagaimana sang surya perlahan menampakkan diri dari persembunyiannya, mengawali perjalanan panjangnya 12 jam ke depan. Ia bagaikan muncul di antara gelombang laut yang saling berkejaran. Dengan warnanya yang kemerah-merahan menyinari rimbunan pohon di sepanjang pegunungan yang masih perawan, hembusan angin laut, perahu nelayan saling berkejaran, burung laut yang sedang asyik main kucing-kucingan dengan mangsanya, kondisi masyarakat yang masih bersahaja, semuanya berpadu menggambarkan orsinalitas makhluk Tuhan.
Dengan hembusan angin laut dan keindahan pantai yang membentang sekitar 4 km ini pengunjung dapat menikmati beberapa kegiatan rekreatif baik di kala pasang sedang suraut maupun di kala sedan naik. Di kala pasang sedang surut orang dapat menyusur pantai sambil mencari kerang laut dan kepiting, dan makan nasi sambil menguliti tiram mentah (enak loh). Di kala pasang sedang naik, orang dapat menikmati bagaimana berenang di lautan lepas karena pantainya landai, berlayar, bahkan dapat di jadikan sebagai arena beberapa cabang olaraga yang dilombakan di berbagai event seperti dayung, layar, ski air, dan lain lain. Sayang fasilitas seperti ini belum diadakan.
Selain itu pada kejauhan sekitar 1,5 mil dari pantai terdapat apa yang oleh penduduk setempat disebut bone. Berupa pasir putih seluas 2,5 KM persegi. Tempat ini juga hanya kelihatan ketika pasang sedang surut. Pada saat-saat tertentu masyarkat setempat biasa menjadikan tempat ini sebagai ajang perburuan ikan. Karena ketika pasang sedang surut, banyak ikan yang terjebak di genangan air yang dikelilingi oleh tumpukan pasir. Ketika pasang sedang naik, air di kawasan ini jernih maka dari itu, cocok untuk dikembangkan menjadi taman laut untuk keperluan wisata bahari yang menjanjikan pemandangan antara lain ikan, makhluk laut lainnya

Wisata Alam

Obyek wisata lainnya adalah sebuah gua yang letaknya di tengah gunung Cempalagi. Bagi penduduk setempat gua tersebut disebut sebagai liang baru’e (gua yang baru). Disebut demikian karena gua ini baru dikunjungi sebagaii tempat rekreasi pada tahun 1980 oleh Massaude (seorang pemimpi yang ‘berkebangsaan’ Soppeng). Sebelumnya gua tersebut tidak banyak dikunjungi orang. Penduduk setempat hanya masuk dengan keperluan mengumpulkan kotoran kelelawar yang biasa digunakan sebagai pupuk kandang. Belum ada yang mengetahui dengan pasti ukuran gua tersebut. Hal itu karena banyaknya lorong yang belum dijangkau. Lorong yang sering dilalui memerlukan waktu 2 jam perjalanan uantuk sampai pintu belakang yang menghadap ke laut. Itupun hanya dilakukan dengan bantuan lampu petromaks sebab keadaannya yang demikian gelap, banyaknya lorong, sesekali ada tebing dan jurang yang terjal sehingga sangat riskan ditelusuri dengan bantuan obor apalagi tanpa alat penerang sama sekali. Bahkan tanpa bantuan jasa pemandu pengunjung dapat tersesat pada lorong-lorong yang berupa lingkaran setan. Selain sebagai petualangan menarik, obyek yang dijanjikan adalah antara lain rembesan air dari atas menembus atap gua kemudian membeku membentuk bebatuan yang beragam, kesejukan berada di dalam perut bumi, bagaimana tetesan air dari akar pepohonan, romantika bagi mereka yang sedang bercinta dan lain-lain. Pokoknya tanpa disadari pengunjung akan larut dalam renungan, melakukan tadabbur alam secara refleks yang berujung pada ungkapan betapa kuasa pencipta semua ini dan ungkapan kekaguman yang lain. Tidak akan ada pengunjung yang pulang dalam keadaan hampa akan kesan.

No comments:

Post a Comment