Pada tahun 10 Pebruari 1899, Jenderal Van Heutz menyerang Meulaboh. Pertempuran sengit tak terhindar lagi, Teuku Umar tertembak dan mati sahid di medan perang. Arwahnya dijemput oleh tujuh bidadari. Di alam sana tempatnya yang abadi, ia dikawinkan dengan Ainal Mardiah bidadari yang amat sempuma, itulah pemberian Allah sebagai hadiah perang sabil. "Nyawa tubuh dengan harta, belanjakan untuk perang sabil. Sungai-sungai Kalkautsar sangat indah, pembagian Muhammad karunia Rabbi. Penghulu kita memberi pada ummat, yang berkhidmat berperang sabil. Minum seteguk rasa lain, semakin lesat tak terperi. Dijadikan isteri bintang kejora. Cantik jelita sang Bidadari"[1] <#_ftn1> Teuku Umar (1854-1899), Sayidi yang legendaris ini dikenal sangat kontroversial dalam berbagai tindakan, jalan hidup dan taktik bertempurnya selama perang Aceh. Berkali-kali ia berperang di pihak Sang Kafir. Kemudian lari lagi ke pihak Aceh, menyeberang lagi dan lari lagi. Ia juga diangkat sebagai penasehat dan orang kepercayaan Belanda dalam Perang Aceh. Ia menyerang patriot-patriot Aceh dan korban pun berjatuhan akibat ulahnya. Karena sepak terjangnya itu ia dicap sebagi anjing penghianat yang amat laknat, ketika ia gugur di medan perang berakhirlah petualangannya yang kontroversial itu. Peluru /Beulanda Kaphe/ (Belanda Kafir) merenggut jiwanya. Ia gugur sebagai panglima perang Aceh yang sejati, dan ketika jasadnya dikebumikan di samping masjid di Kampung Mugo, orang-orang Aceh menyebutnya Teuku Johan Pahlawan. Tuanku Pahlawan yang perkasa. Jika kita menyimak alur perjuangan Teuku Umar dan menghubungkannya dengan hikayat perang sabil yang menjadi /spirit/ perang Aceh, maka akan tampak bahwa ide yang mendasari keterlibatan Teuku Umar dalam perang Aceh adalah perang melawan Kaphi /"Sabilillah"/ dan tujuan akhirnya adalah /"Sahid"/. Oleh Karena itu, bagi masyarakat Aceh hanya ada satu penilaian yang primer, /Sahid/ dan jalan menuju /Sahid/ adalah /Jihad Fi Sabilillah./
Dalam keadaan yang demikian, faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan lain-lain menjadi faktor sekunder. Keadaan perang yang berkobar ketika itu melahirkan kegiatan berpikir mengenai Hukum Islam yang berkaitan dengan pokok hubungan antara kaum muslim dan yang bukan muslim. Seorang Islam wajib merebut negerinya dari kekuasaan musuh apalagi musuh itu adalah /Beulanda Kaphe/ (Belanda Kafir), jadikanlah pekerjaan mengusir musuh itu sebagi /fardhu ain/, begitulah fatwah ulama. Dari kisah Teuku Umar sang Johan Pahlawan, kita dapat mengetahui bahwa, bagi orang Aceh, perjalanan sejarah tak lain adalah kisah tentang jatuh bangunnya anak manusia yang senantiasa berubah dan dalam fluktuasi itu pintu taubat dan maaf selalu terbuka, karena itu yang terpenting dan di atas segala-galanya adalah realitas dari akhir perjalanan itu, /sahid/. Kalaulah kisah Teuku Umar dalam Perang Aceh digunakan sebagai /imsal/ bagi pijakan imajinasi kita untuk menyingkap nuansa keterlibatan Arung Palakka dalam Perang Makassar 1660-1669, maka kitapun akan mencoba memahami apa sesungguhnya yang terjadi ketika itu dan dari kejadian itu melahirkan kegiatan berfikir apa. Kegiatan berpikir itulah yang paling penting diketahui sebagai suatu upaya akademis untuk menempatkan suatu kejadian pada tempat yang sesungguhnya. Pemahaman terhadap hal tersebut sangat penting artinya dalam memahami dasar filsafat dan etika Bugis yang menguasai jalannya sejarah ketika itu, itulah yang disebut "jiwa jaman" /(zeitgeist)/. Bagi orang Bugis hidup ini adalah harga diri (/siri?/) yang harus selalu dipelihara dan dipertaruhkan agar keseimbangannya dengan yang lain senantiasa terjaga. Apabila seseorang dibuat /siri?/ (/masiri?/) yang menyebabkan harga dirinya terganggu atau hilang, maka oleh masyarakat sekitarnya ia dituntut untuk mengambil langkah menebus diri dengan menyingkirkan penyebab /siri?/ yang merusak keseimbangannya sebagai manusia, karena itu ia wajib menyingkirkan penyebab /siri?/ di matanya sendiri dan di mata masyarakatnya. Masyarakat mengharapkan seseorang yang telah dibuat /siri?/ (/masiri?/) mengambil tindakan karena dirasakan lebih baik mati mempertahankan harga diri (/mate ri siri? na/) daripada hidup tanpa harga diri (/mate siri?/). Mati mempertahankan /siri?/ adalah /mate rigolai, mate ri sangtangi/ atau menjalani kematian yang manis. Ketika seseorang telah melangkah mengambil tindakan untuk mempertahankan dan merebut harga diri (/siri?/ /na/), maka proses awal memasuki dunia sejarah dari seseorang telah dimulai. Bagi orang Bugis masa menyejarah inilah yang sangat penting. Jika Teuku Umar memasuki dunia sejarah melalui Perang Aceh dan berhasil menjangkau tujuan akhir perjalanan sejarah (dalam pandangan masyarakatnya dan pandangan filsafat sejarah Aceh, /Sahid/), maka Arung Palakka telah mengawali keterlibatannya dalam menyejarah, melalui perang Makassar dengan memasuki pintu sejarah melalui pintu yang paling hakiki menurut filsafat sejarah Bugis, yakni menegakkan /siri?/ (harga diri). Hal ini sangat penting karena /siri? /adalah awal segala-galanya. Pemulihan dan penjagaan /siri?/ adalah pula akhir dari perjalanan sejarah bagi orang Bugis. Beberapa saat setelah bobolnya benteng Somba Opu 21 Juni 1669 yang menandai runtuhnya Kerajaan Gowa, Arung Palakka bertanya kepada orang-orang Bone (Bugis): "Wahai orang Bone, kita telah diberi oleh Tuhan yang kita minta, dan sekarang apa gerangan yang ada dalam pemikiranmu. Orang Bone mengatakan, kami ingin membalas perlakuan orang-orang Gowa (Makassar) terhadap orang Bone (Bugis)". Bertanya pula Arung Palakka kepada orang-orang Bone: Sewaktu kalian berperang, apa yang kalian inginkan dalam hati, yang kami inginkan kata orang Bone ialah mengalahkan dan akan membalas tindakan dan perbuatan orang-orang Gowa terhadap kami. Arung Palakka berkata yang mana lebih baik jika kalian yang membalas atau Tuhan Yang Maha Kuasa, dan orang Bone pun menyerahkan pembalasan itu kepada Tuhan" Melalui pernyataan yang luhur ini tak dapat diragukan lagi, bahwa keterlibatan Arung Palakka dan orang-orang Bone dalam perang adalah pemulihan harga diri, Keduanya diikat oleh satu hubungan emosional yang amat dalam, /pésse/. Apakah yang terjadi kemudian setelah itu, satu periode/babak sejarah Sul-Sel berakhir, dan babak baru dalam kronologi sejarah Sulawesi Selatan siap memasuki sebuah era yang baru, era kekuasaan asing (VOC). Satu era sejarah yang ditandai dengan kisah tentang jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara termasuk Gowa. Kehadiran Arung Palakka adalah realitas sejarah yang dianggap sebagai awal bagi satu babak baru dalam percaturan politik dan kepemimpinan di Sulawesi Selatan yang sudah berjalan cukup lama, sesuatu yang biasa dan akan terus berlangsung dalam sejarah. Setelah kita menutup satu era periode sejarah dalam kenangan waktu, maka kitapun memasuki era Arung Palakka. Era ini sangat penting, tidak hanya bagi orang-orang Bone (Bugis), tetapi bagi seluruh masyarakat Sulawesi Selatan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan era Arung Palakka adalah era penataan kembali tatanan kehidupan masyarakat setelah melalui periode perang yang panjang. Pertanyaan-pertanyaan sejarah yang riil. Bagaimana struktur masyarakat dan kekuasaan ketika itu, kemajuan sosial yang dicapai ketika itu, bagaimana perkembangan budaya dan pengembangan keagamaan ketika itu. Sampai di mana tingkat perkembangan ilmu pengetahuan ketika itu, bagaimana hubungan internasional yang berlangsung. Bagaimana dengan kekuatan basis ekonomi masyarakat, bagaimana pandangan dunia intemasional ketika itu, bagaimana hak-hak asasi manusia dijalankan dan lain-lain. Persoalan-persoalan ini perlu diketahui, perlu dibicarakan, karena jawabannya adalah bagian yang paling penting untuk mengetahui apakah masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) mampu menjaga /siri?-/nya dalam era sejarah yang baru itu atau sebaliknya bahwa di era yang baru itu masyarakat Sulawesi Selatan sudah kehilangan /siri? /seiring dengan kekalahan Gowa dalam perang Makassar. Sejarah pada dasarnya bukanlah hanya hikayat seseorang, melainkan riwayat masyarakat yang penuh dengan berbagai rona dalam dimensi-dimensi; sosial, budaya, agama, ekonomi, sastra, filsafat, politik, birokrasi, seni, undang-undang, adat istiadat, mistik, ritual, simbol-simbol, hak-hak asasi dan banyak lagi. Semua itulah yang memberi nuansa bagi harga diri orang-orang Bugis-Makassar ketika itu. Arung Palakka telah mengantar masyarakat Sulawesi Selatan memasuki suatu era baru dalam babakan sejarah dengan penuh perjuangan, dan generasi sesudah itu seringkali hanya asyik bercerita dan menjelaskan secara rinci dan terkadang emosional tentang keterlibatan Arung Palakka di awal sejarah dalam Perang Makassar. Sementara uraian tentang apa yang dilakukan dan yang dicapai oleh masyarakat sesudah itu tidak banyak dibicarakan. Dewasa ini orang-orang Bugis-Makassar diperhadapkan untuk menjelaskan semua itu dengan jujur. Hal ini sangat penting, karena dari sini dapat diketahui bagaimana upaya yang dilakukan oleh orang-orang Bugis-Makassar mempertahankan /siri?/. Melalui suatu upaya yang cermat dalam memasuki pergantian zaman dengan baik sehingga sekalipun Gowa hancur, Tosara ibu negeri Wajo di bumi hangus dll, orang Makassar-Bugis yang terlibat dalam perang merasa tidak kehilangan /siri?/ (/mate/ /siri?/). Lihatlah misalnya bagaimana kisah keterlibatan Arung Palakka dalam kancah Perang Makassar, dituturkan dalam /Sinrilik Kappala Tallumbatua/. Satu penjelasan yang sengaja direkayasa untuk konsumsi masyarakat desa, dan orang-orang Makassar pedalaman. Bagaimana persepsi masyarakat desa (mayoritas) tentang Perang Makassar, tentang Kerajaan Gowa dan tentang Arung Palakka, sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan persepsi istana, raja-raja, para bangsawan dan kalangan atas tentang Perang Makassar dan Arung Palakka. Persepsi ini juga berbeda dengan yang digunakan oleh sejarawan-sejarawan Barat atau didikan Barat yang hanya melihat abad ke-17 hanya berisi pertentangan antara Kompeni (VOC) dengan raja-raja lokal, dalam rangka persaingan politik ekonomi, dan penguasaan kontrol terhadap jalur perdagangan. Jika kita mau mencoba meninggalkan cara pandang sarjana Barat tentang ide perang Makassar yang bertemakan persaingan ekonomi itu dan mengamati satu persoalan micro historis yang terletak jauh di bawah permukaan sejarah, di sana akan menemukan banyak tema, yang non ekonomis sifatnya, yang justru menentukan jalannya sejarah, tema-tema itu adalah tumpukan kegelisahan masyarakat di satu zaman. Ia bisa saja berwujud kebobrokan kontrol birokrasi, pelanggaran hak-hak azasi manusia, rendahnya kualitas manusia, lemahnya perekonomian negara, korupsi di antara para pejabat, penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab dan banyak lagi. Persoalan-persoalan semacam ini terbenam di bawah arus sejarah politik yang ketika itu di abad ke -17 didominasi oleh persaingan ekonomi antara Gowa dengan VOC. Kalau kita mau mencoba meninggalkan peristiwa macro, dan membicarakan berbagai tema yang berada di bawah permukaan sejarah politik dan ekonomi, maka akan tampak betapa berbagai ragam dan nuansa kesejarahan yang kita temukan. Jika kita membaca sejarah Indonesia seperti apa yang kita ketahui sekarang bahwa Belanda (VOC) adalah satu imperium dagang yang sangat besar di dunia abad ke-17 dan kedatangannya di Nusantara ini tak terlepas dari nafsu ekonomi dagang dan kekuasaan ekonomi, tetapi bagaimana masyarakat desa, rakyat kecil melihat/memahami kedatangan Belanda, sangat berbeda. Mereka memiliki persepsi yang berbeda. Mereka tidak mengenal percaturan politik, persaingan ekonomi, jalur dagang, dll. Yang mereka tahu Belanda datang dan mereka merasakan tatanan tradisionalnya terusik. Ada yang berusaha melawannya secara fisik, ada yang hanya melawannya dengan prinsip, ada yang terpaksa menerimanya dengan pasrah dan ada pula yang menerimanya sebagai suatu kewajaran. Sebagai contoh dikisahkan dalam /Serat Baron Sahendher/ sebuah /pseudo History/ (Jawa) "sejarah semu" yang juga biasa disebut sebagai /legendariry history/ atau legenda sejarah. Dalam /Serat Baron Sahendher/ diceritakan bahwa sesungguhnya kedatangan Belanda ke Jawa adalah sebuah kewajaran yang harus diterima : Tersebutlah dalam /Serat Baron Sahendher/ seorang wanita cantik bernama Dewi Anuranggang. Karena kecantikannya, ia diperistrikan Sultan Jakarta, akan tetapi Sultan Jakarta tak kuasa menghadapi istrinya, karena setiap kali akan ditiduri memancar api dari tubuhnya. Anuranggang dibuangnya dan kemudian ia dipungut oleh Sultan dan mengalami nasib yang sama dengan Sultan Jakarta. Anuranggang dikembalikan pada Sultan Jakarta dan kemudian ia dijual kepada Baron Sukmul seorang anak pedagang kaya dari Gunung Kurbin di Spanyol[2] <#_ftn2> dengan tiga buah meriam, dua di antaranya ialah Ki Gunturgeni, Ki Pamuk. Baron Sukmui kemudian menjadikan Dewi Anuranggang sebagai istri tercinta dan membawanya pulang ke Eropa. Di sanalah Anuranggang melahirkan seorang anak yang diberi nama Murjangkung. Murjangkung kemudian setelah dewasa merasa dirinya berbeda dengan masyarakat di sekelilingnya di Eropa dan ketika ia tahu bahwa ibunya adalah orang Jawa yang dulu disia-siakan oleh Sultan Jakarta dan Sultan Cirebon, Murjangkung kemudian berangkat ke Jakarta untuk membalas dendam sakit hati ibunya kepada Sultan Jakarta dan Sultan Cirebon.[3] <#_ftn3> Karena itulah ketika Belanda mulai menanamkan kekuasaannya di Batavia, rakyat menerimanya sebagai sesuatu yang wajar sebagai hukuman Sultan Jakarta atas perlakuannya kepada Dewi Anuranggang karena bagi orang Jawa Murjangkung tak lain adalah Jan Pietersz Coen: Gubemur Jenderal VOC yang pertama di Batavia. /Serat Baron Sakender/ memang sengaja diciptakan mengikuti alam pikiran orang Jawa pedesaan. Agar mereka ikhlas menerima kehadiran Belanda sebagai /takdir/, sebagai balasan atas kesewenang-wenangan rajanya yang menginjak-injak hak azasi manusia. Kalau kita melihat bagaimana /Sinrilik Kappala Tallumbatua/ diciptakan sebagai /Serat Baron Sakender/ yang dikarang untuk memberi pemahaman kepada rakyat pedesaan tentang kehadiran Belanda sebagai suatu kewajaran. Maka /Sinrilik Kappala Tallumbatua/ pun digubah sebagai suatu penjelasan moral kesejarahan kepada orang-orang Makassar agar mereka menerima kekalahan Kerajaan Gowa sebagai suatu kewajaran sejarah sebagai takdir (/taka dere/) atas kesewenangan-wenangan raja pada hak azasi manusia, sedang perbuatan Arung Palakka digambarkan sebagai seseorang yang tertimpa duka yang amat dalam, dan itu adalah /sare/ atau /were /(takdir). Namun demikian /sare/ atau /were/ masih bisa diperbaiki melalui upaya, usaha dan kerja keras. Karena itulah apapun yang dilakukan oleh Arung Palakka dalam menyejarah adalah bagian dan upayanya memperbaiki /were/ yang diterimanya, dan dijalaninya dengan tabah dan penuh kegigihan melalui apa yang disebut /Mattunru toto/. Bagi orang Aceh, persoalan yang dihadapi Teuku Umar dan masyarakat Aceh yang religius, dan fanatik dalam perang Aceh tidak dianggap sebagai perang karena persaingan ekonomi dan kontra kekuasaan antara Aceh dan Kolonial Belanda, melainkan /Sabilillah/ melawan Kafir. Bagaimanapun juga Belanda adalah Kaphe. Pertentangan ekonomi dan kontra kekuasaan serta berbagai faktor lainnya, adalah tema-tema yang larut dalam /Sabilillah/. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan dalam proses sejarah tidak terlalu penting, sebab bagi masyarakat Aceh yang fanatik itu penilaian terakhirlah yang menentukan, /sahid/. Menghadapi perang expedisi penaklukan di berbagai pelosok negeri kita, expedisi kolonial ini melarutkan semua tema yang ada di seputar kedatangan Belanda dalam /siri?/ dan /sahid/ secara bersama. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya perlawanan yang dilakukan di awal abad ke-20 di Sulawesi Selatan. Keperkasaan dan kegigihan itu disenandungkan dalam berbagai nyayian perang, /(elong osong)./
/Elong osong besse tangelo/,
/mata essona Bulo-bulo/,
/osonna I Mandavini Petta Mapute Isie, osonna I Patimbani Dg Maketti Arung Patimpeng/.
/Osong lai-lainna Sidenreng,/
/osong Bawi Mabbosanna Maniampajo,/ dll.
/Iya bela, iya pakkanna/
/e lakallolo, magi muonro/
/aga dega muissenngi makkedae/
/pitu anak dara mabaju eja tajekko ri pammasareng/
/Lesseko keloe ri tenggana jekangnge/ /natoliangao gajang /
/labetta massola-solae /
/Sola-sola mate/
/temmasola-sola mate /
/lebbini mate massola-solae/
Artinya :
Wahai sekalian,
seluruh pasukan perang hai anak muda,
mengapa tersendat maju apakah engkau tak tahu bahwa tujuh orang bidadari berbaju merah menunggumu di pusara
menghindarlah kalian dari tengah jalan
nanti tersenggol senjata si pemberani yang tak takut mati pemberani akan mati yang tidak beranipun juga akan mati
lebih baik mati sebagai pemberani
/He pakkannea/
/idina jowana La Jalante/
/teppallaisenngi lino pammasareng /
/Kegapi muelo mate /
/Jowa engkatona/
/ajjowareng angkatona /
/Temmate tuwoe /
/teilete ri manipi /
/tania kadona /
/He bela/ /sola-sola mate, temmasole-sole mate/
/lebbi I sia mate massola-solae /
/pitu gare wawinnena ri maje/ /mate massola-solae/
/Idi?na wijanna warani pitue /
/bawi mabbosanna Maniampajo /
/tedong tenrilasekna Anabbanua /
/assangirenna malelae/
/attabutturenna picunannge /
Artinya :
He prajurit pasukan perang kami inilah pasukan La Jalante yang tidak membedakan mati atau hidup Kapan lagi kita mau berkorban pengikut telah siap pemimpinpun telah siap Tak mati yang hidup tidak masuk hang lahat yang bukan suratannya He beta pemberani akan mati, yang tidak beranipun akan mati lebih terhormat mati sebagai pemberani Konon kelak disediakan tujuh istri bagi mereka yang mad sebagai pemberani Kitalah ini turunan pemberani yang tujuh Si Babi Gonrong dari Maniampajo Kerbau tak dikebiri dari Anakbanua tempat mengasah keris tempat tertumbuknya peluru[4] <#_ftn4> Senandung nyanyian-nyanyian perang /(Elong Asong)/ ini alunannya melampaui batas-batas wilayah, daerah atau kawasan etnik tertentu. Ketika nyanyian perang semacam ini disenandungkan pula pada tempat lain dan alunannyapun melampui batas wilayah, daerah dan kawasannya, bertautlah untaian liriknya mempersatukan irama zaman. Keadaan semacam inilah yang menautkan "memori kolektif" mereka. Memori kolektif inilah yang menjadi benih tumbuhnya satu kesadaran bersama yang melahirkan suatu tingkah laku kolektif yang ditemukan di mana-mana. Faktor-faktor inilah yang menjadi embrio bagi lahirnya satu /nation/ kelak di kemudian hari. Memperhatikan perjuangan Arung Palakka dalam menegakkan hak azasi manusia yang terinjak-injak ketika itu akibat diperlakukan sebagai budak di luar batas kemanusiaan /(ripoata pupu)/ dan memperoleh kesengsaraan dan perlakuan kasar sebagai pekerja paksa /(anrasarasangnge ri kaee)/ sebagai faktor utama keterlibatannya menyejarah. Tak dapat diragukan lagi tujuan perjuangan itu. Sebagai upaya mencari keseimbangan, dan merebut harga dirinya yang hilang. Persoalannya sekarang adalah sejauh mana perjuangan kemanusiaan yang dikorbankan Arung Palakka ketika itu mampu melampaui batas-batas wilayah, daerah dan kawasannya. Kemudian apakah tema perjuangan kemanusiaan Arung Palakka ketika itu mampu mengalahkan tema yang aktual di abad ke-17 sehingga tema perjuangan kemanusiaan itu dapat diterima secara universal oleh zamannya. Dengan demikian akan tampak bahwa masalah yang perlu mendapat perhatian bukan peristiwa atau kejadiannya, melainkan filsafat sejarahnya, yakni ide keterlibatan Arung Palakka dalam perang, bukan jalannya peperangan.
Arung Palakka: Sebuah Renungan tentang Filsafat Sejarah Bugis Abad ke-17
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment