Arung Palakka: Sebuah Renungan tentang Filsafat Sejarah Bugis Abad ke-17

Pada tahun 10 Pebruari 1899, Jenderal Van Heutz menyerang Meulaboh. Pertempuran sengit tak terhindar lagi, Teuku Umar tertembak dan mati sahid di medan perang. Arwahnya dijemput oleh tujuh bidadari. Di alam sana tempatnya yang abadi, ia dikawinkan dengan Ainal Mardiah bidadari yang amat sempuma, itulah pemberian Allah sebagai hadiah perang sabil. "Nyawa tubuh dengan harta, belanjakan untuk perang sabil. Sungai-sungai Kalkautsar sangat indah, pembagian Muhammad karunia Rabbi. Penghulu kita memberi pada ummat, yang berkhidmat berperang sabil. Minum seteguk rasa lain, semakin lesat tak terperi. Dijadikan isteri bintang kejora. Cantik jelita sang Bidadari"[1] <#_ftn1> Teuku Umar (1854-1899), Sayidi yang legendaris ini dikenal sangat kontroversial dalam berbagai tindakan, jalan hidup dan taktik bertempurnya selama perang Aceh. Berkali-kali ia berperang di pihak Sang Kafir. Kemudian lari lagi ke pihak Aceh, menyeberang lagi dan lari lagi. Ia juga diangkat sebagai penasehat dan orang kepercayaan Belanda dalam Perang Aceh. Ia menyerang patriot-patriot Aceh dan korban pun berjatuhan akibat ulahnya. Karena sepak terjangnya itu ia dicap sebagi anjing penghianat yang amat laknat, ketika ia gugur di medan perang berakhirlah petualangannya yang kontroversial itu. Peluru /Beulanda Kaphe/ (Belanda Kafir) merenggut jiwanya. Ia gugur sebagai panglima perang Aceh yang sejati, dan ketika jasadnya dikebumikan di samping masjid di Kampung Mugo, orang-orang Aceh menyebutnya Teuku Johan Pahlawan. Tuanku Pahlawan yang perkasa. Jika kita menyimak alur perjuangan Teuku Umar dan menghubungkannya dengan hikayat perang sabil yang menjadi /spirit/ perang Aceh, maka akan tampak bahwa ide yang mendasari keterlibatan Teuku Umar dalam perang Aceh adalah perang melawan Kaphi /"Sabilillah"/ dan tujuan akhirnya adalah /"Sahid"/. Oleh Karena itu, bagi masyarakat Aceh hanya ada satu penilaian yang primer, /Sahid/ dan jalan menuju /Sahid/ adalah /Jihad Fi Sabilillah./
Dalam keadaan yang demikian, faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan lain-lain menjadi faktor sekunder. Keadaan perang yang berkobar ketika itu melahirkan kegiatan berpikir mengenai Hukum Islam yang berkaitan dengan pokok hubungan antara kaum muslim dan yang bukan muslim. Seorang Islam wajib merebut negerinya dari kekuasaan musuh apalagi musuh itu adalah /Beulanda Kaphe/ (Belanda Kafir), jadikanlah pekerjaan mengusir musuh itu sebagi /fardhu ain/, begitulah fatwah ulama. Dari kisah Teuku Umar sang Johan Pahlawan, kita dapat mengetahui bahwa, bagi orang Aceh, perjalanan sejarah tak lain adalah kisah tentang jatuh bangunnya anak manusia yang senantiasa berubah dan dalam fluktuasi itu pintu taubat dan maaf selalu terbuka, karena itu yang terpenting dan di atas segala-galanya adalah realitas dari akhir perjalanan itu, /sahid/. Kalaulah kisah Teuku Umar dalam Perang Aceh digunakan sebagai /imsal/ bagi pijakan imajinasi kita untuk menyingkap nuansa keterlibatan Arung Palakka dalam Perang Makassar 1660-1669, maka kitapun akan mencoba memahami apa sesungguhnya yang terjadi ketika itu dan dari kejadian itu melahirkan kegiatan berfikir apa. Kegiatan berpikir itulah yang paling penting diketahui sebagai suatu upaya akademis untuk menempatkan suatu kejadian pada tempat yang sesungguhnya. Pemahaman terhadap hal tersebut sangat penting artinya dalam memahami dasar filsafat dan etika Bugis yang menguasai jalannya sejarah ketika itu, itulah yang disebut "jiwa jaman" /(zeitgeist)/. Bagi orang Bugis hidup ini adalah harga diri (/siri?/) yang harus selalu dipelihara dan dipertaruhkan agar keseimbangannya dengan yang lain senantiasa terjaga. Apabila seseorang dibuat /siri?/ (/masiri?/) yang menyebabkan harga dirinya terganggu atau hilang, maka oleh masyarakat sekitarnya ia dituntut untuk mengambil langkah menebus diri dengan menyingkirkan penyebab /siri?/ yang merusak keseimbangannya sebagai manusia, karena itu ia wajib menyingkirkan penyebab /siri?/ di matanya sendiri dan di mata masyarakatnya. Masyarakat mengharapkan seseorang yang telah dibuat /siri?/ (/masiri?/) mengambil tindakan karena dirasakan lebih baik mati mempertahankan harga diri (/mate ri siri? na/) daripada hidup tanpa harga diri (/mate siri?/). Mati mempertahankan /siri?/ adalah /mate rigolai, mate ri sangtangi/ atau menjalani kematian yang manis. Ketika seseorang telah melangkah mengambil tindakan untuk mempertahankan dan merebut harga diri (/siri?/ /na/), maka proses awal memasuki dunia sejarah dari seseorang telah dimulai. Bagi orang Bugis masa menyejarah inilah yang sangat penting. Jika Teuku Umar memasuki dunia sejarah melalui Perang Aceh dan berhasil menjangkau tujuan akhir perjalanan sejarah (dalam pandangan masyarakatnya dan pandangan filsafat sejarah Aceh, /Sahid/), maka Arung Palakka telah mengawali keterlibatannya dalam menyejarah, melalui perang Makassar dengan memasuki pintu sejarah melalui pintu yang paling hakiki menurut filsafat sejarah Bugis, yakni menegakkan /siri?/ (harga diri). Hal ini sangat penting karena /siri? /adalah awal segala-galanya. Pemulihan dan penjagaan /siri?/ adalah pula akhir dari perjalanan sejarah bagi orang Bugis. Beberapa saat setelah bobolnya benteng Somba Opu 21 Juni 1669 yang menandai runtuhnya Kerajaan Gowa, Arung Palakka bertanya kepada orang-orang Bone (Bugis): "Wahai orang Bone, kita telah diberi oleh Tuhan yang kita minta, dan sekarang apa gerangan yang ada dalam pemikiranmu. Orang Bone mengatakan, kami ingin membalas perlakuan orang-orang Gowa (Makassar) terhadap orang Bone (Bugis)". Bertanya pula Arung Palakka kepada orang-orang Bone: Sewaktu kalian berperang, apa yang kalian inginkan dalam hati, yang kami inginkan kata orang Bone ialah mengalahkan dan akan membalas tindakan dan perbuatan orang-orang Gowa terhadap kami. Arung Palakka berkata yang mana lebih baik jika kalian yang membalas atau Tuhan Yang Maha Kuasa, dan orang Bone pun menyerahkan pembalasan itu kepada Tuhan" Melalui pernyataan yang luhur ini tak dapat diragukan lagi, bahwa keterlibatan Arung Palakka dan orang-orang Bone dalam perang adalah pemulihan harga diri, Keduanya diikat oleh satu hubungan emosional yang amat dalam, /pésse/. Apakah yang terjadi kemudian setelah itu, satu periode/babak sejarah Sul-Sel berakhir, dan babak baru dalam kronologi sejarah Sulawesi Selatan siap memasuki sebuah era yang baru, era kekuasaan asing (VOC). Satu era sejarah yang ditandai dengan kisah tentang jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara termasuk Gowa. Kehadiran Arung Palakka adalah realitas sejarah yang dianggap sebagai awal bagi satu babak baru dalam percaturan politik dan kepemimpinan di Sulawesi Selatan yang sudah berjalan cukup lama, sesuatu yang biasa dan akan terus berlangsung dalam sejarah. Setelah kita menutup satu era periode sejarah dalam kenangan waktu, maka kitapun memasuki era Arung Palakka. Era ini sangat penting, tidak hanya bagi orang-orang Bone (Bugis), tetapi bagi seluruh masyarakat Sulawesi Selatan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan era Arung Palakka adalah era penataan kembali tatanan kehidupan masyarakat setelah melalui periode perang yang panjang. Pertanyaan-pertanyaan sejarah yang riil. Bagaimana struktur masyarakat dan kekuasaan ketika itu, kemajuan sosial yang dicapai ketika itu, bagaimana perkembangan budaya dan pengembangan keagamaan ketika itu. Sampai di mana tingkat perkembangan ilmu pengetahuan ketika itu, bagaimana hubungan internasional yang berlangsung. Bagaimana dengan kekuatan basis ekonomi masyarakat, bagaimana pandangan dunia intemasional ketika itu, bagaimana hak-hak asasi manusia dijalankan dan lain-lain. Persoalan-persoalan ini perlu diketahui, perlu dibicarakan, karena jawabannya adalah bagian yang paling penting untuk mengetahui apakah masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) mampu menjaga /siri?-/nya dalam era sejarah yang baru itu atau sebaliknya bahwa di era yang baru itu masyarakat Sulawesi Selatan sudah kehilangan /siri? /seiring dengan kekalahan Gowa dalam perang Makassar. Sejarah pada dasarnya bukanlah hanya hikayat seseorang, melainkan riwayat masyarakat yang penuh dengan berbagai rona dalam dimensi-dimensi; sosial, budaya, agama, ekonomi, sastra, filsafat, politik, birokrasi, seni, undang-undang, adat istiadat, mistik, ritual, simbol-simbol, hak-hak asasi dan banyak lagi. Semua itulah yang memberi nuansa bagi harga diri orang-orang Bugis-Makassar ketika itu. Arung Palakka telah mengantar masyarakat Sulawesi Selatan memasuki suatu era baru dalam babakan sejarah dengan penuh perjuangan, dan generasi sesudah itu seringkali hanya asyik bercerita dan menjelaskan secara rinci dan terkadang emosional tentang keterlibatan Arung Palakka di awal sejarah dalam Perang Makassar. Sementara uraian tentang apa yang dilakukan dan yang dicapai oleh masyarakat sesudah itu tidak banyak dibicarakan. Dewasa ini orang-orang Bugis-Makassar diperhadapkan untuk menjelaskan semua itu dengan jujur. Hal ini sangat penting, karena dari sini dapat diketahui bagaimana upaya yang dilakukan oleh orang-orang Bugis-Makassar mempertahankan /siri?/. Melalui suatu upaya yang cermat dalam memasuki pergantian zaman dengan baik sehingga sekalipun Gowa hancur, Tosara ibu negeri Wajo di bumi hangus dll, orang Makassar-Bugis yang terlibat dalam perang merasa tidak kehilangan /siri?/ (/mate/ /siri?/). Lihatlah misalnya bagaimana kisah keterlibatan Arung Palakka dalam kancah Perang Makassar, dituturkan dalam /Sinrilik Kappala Tallumbatua/. Satu penjelasan yang sengaja direkayasa untuk konsumsi masyarakat desa, dan orang-orang Makassar pedalaman. Bagaimana persepsi masyarakat desa (mayoritas) tentang Perang Makassar, tentang Kerajaan Gowa dan tentang Arung Palakka, sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan persepsi istana, raja-raja, para bangsawan dan kalangan atas tentang Perang Makassar dan Arung Palakka. Persepsi ini juga berbeda dengan yang digunakan oleh sejarawan-sejarawan Barat atau didikan Barat yang hanya melihat abad ke-17 hanya berisi pertentangan antara Kompeni (VOC) dengan raja-raja lokal, dalam rangka persaingan politik ekonomi, dan penguasaan kontrol terhadap jalur perdagangan. Jika kita mau mencoba meninggalkan cara pandang sarjana Barat tentang ide perang Makassar yang bertemakan persaingan ekonomi itu dan mengamati satu persoalan micro historis yang terletak jauh di bawah permukaan sejarah, di sana akan menemukan banyak tema, yang non ekonomis sifatnya, yang justru menentukan jalannya sejarah, tema-tema itu adalah tumpukan kegelisahan masyarakat di satu zaman. Ia bisa saja berwujud kebobrokan kontrol birokrasi, pelanggaran hak-hak azasi manusia, rendahnya kualitas manusia, lemahnya perekonomian negara, korupsi di antara para pejabat, penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab dan banyak lagi. Persoalan-persoalan semacam ini terbenam di bawah arus sejarah politik yang ketika itu di abad ke -17 didominasi oleh persaingan ekonomi antara Gowa dengan VOC. Kalau kita mau mencoba meninggalkan peristiwa macro, dan membicarakan berbagai tema yang berada di bawah permukaan sejarah politik dan ekonomi, maka akan tampak betapa berbagai ragam dan nuansa kesejarahan yang kita temukan. Jika kita membaca sejarah Indonesia seperti apa yang kita ketahui sekarang bahwa Belanda (VOC) adalah satu imperium dagang yang sangat besar di dunia abad ke-17 dan kedatangannya di Nusantara ini tak terlepas dari nafsu ekonomi dagang dan kekuasaan ekonomi, tetapi bagaimana masyarakat desa, rakyat kecil melihat/memahami kedatangan Belanda, sangat berbeda. Mereka memiliki persepsi yang berbeda. Mereka tidak mengenal percaturan politik, persaingan ekonomi, jalur dagang, dll. Yang mereka tahu Belanda datang dan mereka merasakan tatanan tradisionalnya terusik. Ada yang berusaha melawannya secara fisik, ada yang hanya melawannya dengan prinsip, ada yang terpaksa menerimanya dengan pasrah dan ada pula yang menerimanya sebagai suatu kewajaran. Sebagai contoh dikisahkan dalam /Serat Baron Sahendher/ sebuah /pseudo History/ (Jawa) "sejarah semu" yang juga biasa disebut sebagai /legendariry history/ atau legenda sejarah. Dalam /Serat Baron Sahendher/ diceritakan bahwa sesungguhnya kedatangan Belanda ke Jawa adalah sebuah kewajaran yang harus diterima : Tersebutlah dalam /Serat Baron Sahendher/ seorang wanita cantik bernama Dewi Anuranggang. Karena kecantikannya, ia diperistrikan Sultan Jakarta, akan tetapi Sultan Jakarta tak kuasa menghadapi istrinya, karena setiap kali akan ditiduri memancar api dari tubuhnya. Anuranggang dibuangnya dan kemudian ia dipungut oleh Sultan dan mengalami nasib yang sama dengan Sultan Jakarta. Anuranggang dikembalikan pada Sultan Jakarta dan kemudian ia dijual kepada Baron Sukmul seorang anak pedagang kaya dari Gunung Kurbin di Spanyol[2] <#_ftn2> dengan tiga buah meriam, dua di antaranya ialah Ki Gunturgeni, Ki Pamuk. Baron Sukmui kemudian menjadikan Dewi Anuranggang sebagai istri tercinta dan membawanya pulang ke Eropa. Di sanalah Anuranggang melahirkan seorang anak yang diberi nama Murjangkung. Murjangkung kemudian setelah dewasa merasa dirinya berbeda dengan masyarakat di sekelilingnya di Eropa dan ketika ia tahu bahwa ibunya adalah orang Jawa yang dulu disia-siakan oleh Sultan Jakarta dan Sultan Cirebon, Murjangkung kemudian berangkat ke Jakarta untuk membalas dendam sakit hati ibunya kepada Sultan Jakarta dan Sultan Cirebon.[3] <#_ftn3> Karena itulah ketika Belanda mulai menanamkan kekuasaannya di Batavia, rakyat menerimanya sebagai sesuatu yang wajar sebagai hukuman Sultan Jakarta atas perlakuannya kepada Dewi Anuranggang karena bagi orang Jawa Murjangkung tak lain adalah Jan Pietersz Coen: Gubemur Jenderal VOC yang pertama di Batavia. /Serat Baron Sakender/ memang sengaja diciptakan mengikuti alam pikiran orang Jawa pedesaan. Agar mereka ikhlas menerima kehadiran Belanda sebagai /takdir/, sebagai balasan atas kesewenang-wenangan rajanya yang menginjak-injak hak azasi manusia. Kalau kita melihat bagaimana /Sinrilik Kappala Tallumbatua/ diciptakan sebagai /Serat Baron Sakender/ yang dikarang untuk memberi pemahaman kepada rakyat pedesaan tentang kehadiran Belanda sebagai suatu kewajaran. Maka /Sinrilik Kappala Tallumbatua/ pun digubah sebagai suatu penjelasan moral kesejarahan kepada orang-orang Makassar agar mereka menerima kekalahan Kerajaan Gowa sebagai suatu kewajaran sejarah sebagai takdir (/taka dere/) atas kesewenangan-wenangan raja pada hak azasi manusia, sedang perbuatan Arung Palakka digambarkan sebagai seseorang yang tertimpa duka yang amat dalam, dan itu adalah /sare/ atau /were /(takdir). Namun demikian /sare/ atau /were/ masih bisa diperbaiki melalui upaya, usaha dan kerja keras. Karena itulah apapun yang dilakukan oleh Arung Palakka dalam menyejarah adalah bagian dan upayanya memperbaiki /were/ yang diterimanya, dan dijalaninya dengan tabah dan penuh kegigihan melalui apa yang disebut /Mattunru toto/. Bagi orang Aceh, persoalan yang dihadapi Teuku Umar dan masyarakat Aceh yang religius, dan fanatik dalam perang Aceh tidak dianggap sebagai perang karena persaingan ekonomi dan kontra kekuasaan antara Aceh dan Kolonial Belanda, melainkan /Sabilillah/ melawan Kafir. Bagaimanapun juga Belanda adalah Kaphe. Pertentangan ekonomi dan kontra kekuasaan serta berbagai faktor lainnya, adalah tema-tema yang larut dalam /Sabilillah/. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan dalam proses sejarah tidak terlalu penting, sebab bagi masyarakat Aceh yang fanatik itu penilaian terakhirlah yang menentukan, /sahid/. Menghadapi perang expedisi penaklukan di berbagai pelosok negeri kita, expedisi kolonial ini melarutkan semua tema yang ada di seputar kedatangan Belanda dalam /siri?/ dan /sahid/ secara bersama. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya perlawanan yang dilakukan di awal abad ke-20 di Sulawesi Selatan. Keperkasaan dan kegigihan itu disenandungkan dalam berbagai nyayian perang, /(elong osong)./
/Elong osong besse tangelo/,
/mata essona Bulo-bulo/,
/osonna I Mandavini Petta Mapute Isie, osonna I Patimbani Dg Maketti Arung Patimpeng/.
/Osong lai-lainna Sidenreng,/
/osong Bawi Mabbosanna Maniampajo,/ dll.

/Iya bela, iya pakkanna/
/e lakallolo, magi muonro/
/aga dega muissenngi makkedae/
/pitu anak dara mabaju eja tajekko ri pammasareng/
/Lesseko keloe ri tenggana jekangnge/ /natoliangao gajang /
/labetta massola-solae /
/Sola-sola mate/
/temmasola-sola mate /
/lebbini mate massola-solae/

Artinya :
Wahai sekalian,
seluruh pasukan perang hai anak muda,
mengapa tersendat maju apakah engkau tak tahu bahwa tujuh orang bidadari berbaju merah menunggumu di pusara
menghindarlah kalian dari tengah jalan
nanti tersenggol senjata si pemberani yang tak takut mati pemberani akan mati yang tidak beranipun juga akan mati
lebih baik mati sebagai pemberani

/He pakkannea/
/idina jowana La Jalante/
/teppallaisenngi lino pammasareng /
/Kegapi muelo mate /
/Jowa engkatona/
/ajjowareng angkatona /
/Temmate tuwoe /
/teilete ri manipi /
/tania kadona /
/He bela/ /sola-sola mate, temmasole-sole mate/
/lebbi I sia mate massola-solae /
/pitu gare wawinnena ri maje/ /mate massola-solae/
/Idi?na wijanna warani pitue /
/bawi mabbosanna Maniampajo /
/tedong tenrilasekna Anabbanua /
/assangirenna malelae/
/attabutturenna picunannge /

Artinya :
He prajurit pasukan perang kami inilah pasukan La Jalante yang tidak membedakan mati atau hidup Kapan lagi kita mau berkorban pengikut telah siap pemimpinpun telah siap Tak mati yang hidup tidak masuk hang lahat yang bukan suratannya He beta pemberani akan mati, yang tidak beranipun akan mati lebih terhormat mati sebagai pemberani Konon kelak disediakan tujuh istri bagi mereka yang mad sebagai pemberani Kitalah ini turunan pemberani yang tujuh Si Babi Gonrong dari Maniampajo Kerbau tak dikebiri dari Anakbanua tempat mengasah keris tempat tertumbuknya peluru[4] <#_ftn4> Senandung nyanyian-nyanyian perang /(Elong Asong)/ ini alunannya melampaui batas-batas wilayah, daerah atau kawasan etnik tertentu. Ketika nyanyian perang semacam ini disenandungkan pula pada tempat lain dan alunannyapun melampui batas wilayah, daerah dan kawasannya, bertautlah untaian liriknya mempersatukan irama zaman. Keadaan semacam inilah yang menautkan "memori kolektif" mereka. Memori kolektif inilah yang menjadi benih tumbuhnya satu kesadaran bersama yang melahirkan suatu tingkah laku kolektif yang ditemukan di mana-mana. Faktor-faktor inilah yang menjadi embrio bagi lahirnya satu /nation/ kelak di kemudian hari. Memperhatikan perjuangan Arung Palakka dalam menegakkan hak azasi manusia yang terinjak-injak ketika itu akibat diperlakukan sebagai budak di luar batas kemanusiaan /(ripoata pupu)/ dan memperoleh kesengsaraan dan perlakuan kasar sebagai pekerja paksa /(anrasarasangnge ri kaee)/ sebagai faktor utama keterlibatannya menyejarah. Tak dapat diragukan lagi tujuan perjuangan itu. Sebagai upaya mencari keseimbangan, dan merebut harga dirinya yang hilang. Persoalannya sekarang adalah sejauh mana perjuangan kemanusiaan yang dikorbankan Arung Palakka ketika itu mampu melampaui batas-batas wilayah, daerah dan kawasannya. Kemudian apakah tema perjuangan kemanusiaan Arung Palakka ketika itu mampu mengalahkan tema yang aktual di abad ke-17 sehingga tema perjuangan kemanusiaan itu dapat diterima secara universal oleh zamannya. Dengan demikian akan tampak bahwa masalah yang perlu mendapat perhatian bukan peristiwa atau kejadiannya, melainkan filsafat sejarahnya, yakni ide keterlibatan Arung Palakka dalam perang, bukan jalannya peperangan.

SEJARAH TEMPAT ARUNG PALAKKA BERSUMPAH

CEMPALAGI MERUPAKAN TEMPAT ARUNG PALAKKA BERSUMPAH
Cempalagi adalah sebuah nama gunung yang terletak di pesisir teluk Bone. Tepatnya di Desa Mallari Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone (kira-kira 14 km di sebelah utara kota Watampone). Dilihat dari arah timur (Teluk Bone), ia nampak seperti (maaf) BH yang terapung. Sebelah selatan adalah Gunung Pallette dan yang disebelah utara itulah Cempalagi.
Tidak banyak orang mengetahui sebabnya mengapa gunung itu disebut dengan nama cempalagi. Sebab itu, bagi penduduk di sekitarnya pun saat ini mungkin menganggap nama itu aneh karena terbentuk dari dua kata dari bahasa yang berbeda. Cempa adalah kosa kata bahasa bugis yang berarti ‘asam jawa’ (boleh dalam arti pohon dan atau buah) sedangkan lagi lebih dikenal sebagai kosa kata bahasa Indonesia. Sebuah persambungan yang kurang serasi. Sebenarnya bagi orang bugis yang masih kental dengan bahasa ibunya mungkin pernah mendengarkan kata lagi itu sebagai bagian dari bahasa bugis, meskipun frekuensi yang sangat kecil karena kata itu memang jarang muncul dalam konteks percakapan sehari-hari. Apalagi saat ini kata tersebut posisi penggunaannya yang tepat lebih mudah digantikan dengan kosa kata dari Bahasa Indonesia yang sudah ‘dibugiskan’. Pada redaksi yang tepat lagi dalam bahasa bugis berarti ‘tersedia’. Dengan demikian cempalagi pohon asam yang tersedia. Penjelasan etimologis ini selaras dengan penuturan seorang warga setempat ketika menjelaskan mengapa gunung tersebut diberi nama itu. Menurutnya, dulu digunung itu terdapat pohon asam yang besar yang (tersedia) sering dijadikan sebagai tempat perlindungan di kala terjadi perang.
Terlepas dari keanehan namanya, dengan melihat kondisi alamnya, gunung tersebut sebenarnya mempunyai potensi wisata yang beragam. Potensi wisata tersebut antara lain wisata sejarah, wisata bahari/pantai, dan wisata alam Kaitannya dengan otonomi daerah yang sedang digagas dewasa ini gunung tersebut dapat diperhitungkan sebagai aset yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Bone di bidang pariwisata.

Wisata sejarah

Dilihat dari sisi historisnya, gunung tersebut merupakan bagian dari rangkaian sejarah Kerajaan Bone yang panjang. Menurut Andi Mappasissi (Ka Meseum Lapawawoi) di gunung itulah Baginda Arung Palakka (Raja Bone) mengucapkan sumpah untuk membebaskan rakyatnya dari ketertindasan sebelum melakukan rangkaian perjalanan panjang ke Kerajaan Buton untuk selanjutnya ke Batavia dan Pariaman; sebuah kerajaan lokal yang eksis di Pulau Andalas ketika itu. Selanjutnya ia menuturkan bahwa hal itu terjadi pada abad ke-17 ketika pasukan Kerajaan Gowa mengejar Arung Palakka dan pengikutnya ketika mengadakan pelarian setelah ia ditawan di Istana Gowa selama beberapa tahun. Sisi yang menarik dari aspek historis gunung itu bukan hanya berupa cerita seperti itu. Melainkan adanya beberapa ‘prasasti’ yang dapat disaksikan di beberapa situs. Ketika Arung Palakka mencapai puncak ‘kemurkaannya’, dengan kesaktian sebagai seorang raja ia mencakar (makkarebbe), menghettakkan tumitnya dengan kuat (mattuddu) dan bersumpah (mattanro) untuk membebaskan masyarakatnya pada suatu ketika. Ketiga hal yang dilakukan oleh Arung Palakka ini melahirkan tiga prasasti yang dimaksud yang berupa bekas cakaran (akkarebbeseng), bekas hentakan kaki/tumit (attuddukeng). Keduanya di atas batu. Kemudian sumpah untuk membebaskan rakyatnya dari segala ketertindasan dibuktikan dengan simpul (singkeru’) karena dalam tradisi orang bugis keseriusan sumpah biasanya dilambangkan dengan simpul mati. Maka dari itu prasasti tersebut dikenal dengan nama assingkerukeng.
Masyarakat di sekitar kawasan tersebut pasti mengenal betul di mana ketiga prasasti itu berada. Akkarebbeseng (bekas cakaran) ditemukan pada batu di dinding gua sebelah kiri ketika turun sebelum mencapai sumur. Bagi masyarakat setempat gua tersebut disebut liang laung’e (gua yang lama). Dikatakan demikian karena gua tersebut merupakan gua pertama di antara dua gua yang sering dikunjungi sebagai tempat rekreasi. Assingkerukeng (simpul) diketemukan di sebuah gua di sebelah utara gunung (dekat pantai). Uniknya yang disebut sebagai assingkerukeng itu berupa batu yang bentuknya lain dari pada yang lain. Sampai saat ini tempat tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan banyak dikunjungi orang memberikan sesajen untuk memohon berkah. Layaknya di tempat keramat lainnya, di tempat ini pengunjung harus menjaga sikap untuk menghindari kualat makhluk ghaib yang menghuninya. Attuddukeng diketemukan di kaki gunung sebelah timur (tidak jauh dari pemukiman penduduk) di atas lempengan sebuah batu berupa lubang yang berukuran kira-kira 35 cm. Sebenarnya tempat itu merupakan bagian dari laut. Maka dari itu ia hanya kelihatan saat pasang sedang surut. Uniknya, meskipun berada di bagian laut, mata air yang menggelembung dari bawah dijadikan sebagai sumber air tawar oleh penduduk setempat di kala musim kemarau. Sebenarnya bila dilihat fisiknya sekarang, mungkin susah dipercaya bahwa lubang tersebut sebagai bekas kaki Arung Palakka karena terlalu besar untuk ukuran kaki. Akan tetapi boleh jadi keunikan itulah sehingga diperlebar oleh masyarakat setempat demi memenuhi kebutuhan akan air tawar pada waktu-waktu tertentu. Atau boleh jadi ukuran kaki Arung Palakka memang melebihi ukuran kaki orang lain pada umumnya. Pada kunjungan terakhir penulis ke tempat tersebut, (Desember 2009), lubang yang disebut sebagai attuddukeng itu, semakin jauh dari bentuk aslinya.

Wisata Pantai/Bahari

Pesona cempalagi sebagai ajang rekreasi bukan hanya sebatas paparan di atas. Letaknya di pesisir teluk Bone sebenarnya memungkinkan untuk dikembangkan menjadi obyek wisata pantai dan wisata bahari. Sebagai pantai, cempalagi menjanjikan panorama yang elok. Di pagi hari yang cerah, orang dapat menyaksikan bagaimana sang surya perlahan menampakkan diri dari persembunyiannya, mengawali perjalanan panjangnya 12 jam ke depan. Ia bagaikan muncul di antara gelombang laut yang saling berkejaran. Dengan warnanya yang kemerah-merahan menyinari rimbunan pohon di sepanjang pegunungan yang masih perawan, hembusan angin laut, perahu nelayan saling berkejaran, burung laut yang sedang asyik main kucing-kucingan dengan mangsanya, kondisi masyarakat yang masih bersahaja, semuanya berpadu menggambarkan orsinalitas makhluk Tuhan.
Dengan hembusan angin laut dan keindahan pantai yang membentang sekitar 4 km ini pengunjung dapat menikmati beberapa kegiatan rekreatif baik di kala pasang sedang suraut maupun di kala sedan naik. Di kala pasang sedang surut orang dapat menyusur pantai sambil mencari kerang laut dan kepiting, dan makan nasi sambil menguliti tiram mentah (enak loh). Di kala pasang sedang naik, orang dapat menikmati bagaimana berenang di lautan lepas karena pantainya landai, berlayar, bahkan dapat di jadikan sebagai arena beberapa cabang olaraga yang dilombakan di berbagai event seperti dayung, layar, ski air, dan lain lain. Sayang fasilitas seperti ini belum diadakan.
Selain itu pada kejauhan sekitar 1,5 mil dari pantai terdapat apa yang oleh penduduk setempat disebut bone. Berupa pasir putih seluas 2,5 KM persegi. Tempat ini juga hanya kelihatan ketika pasang sedang surut. Pada saat-saat tertentu masyarkat setempat biasa menjadikan tempat ini sebagai ajang perburuan ikan. Karena ketika pasang sedang surut, banyak ikan yang terjebak di genangan air yang dikelilingi oleh tumpukan pasir. Ketika pasang sedang naik, air di kawasan ini jernih maka dari itu, cocok untuk dikembangkan menjadi taman laut untuk keperluan wisata bahari yang menjanjikan pemandangan antara lain ikan, makhluk laut lainnya

Wisata Alam

Obyek wisata lainnya adalah sebuah gua yang letaknya di tengah gunung Cempalagi. Bagi penduduk setempat gua tersebut disebut sebagai liang baru’e (gua yang baru). Disebut demikian karena gua ini baru dikunjungi sebagaii tempat rekreasi pada tahun 1980 oleh Massaude (seorang pemimpi yang ‘berkebangsaan’ Soppeng). Sebelumnya gua tersebut tidak banyak dikunjungi orang. Penduduk setempat hanya masuk dengan keperluan mengumpulkan kotoran kelelawar yang biasa digunakan sebagai pupuk kandang. Belum ada yang mengetahui dengan pasti ukuran gua tersebut. Hal itu karena banyaknya lorong yang belum dijangkau. Lorong yang sering dilalui memerlukan waktu 2 jam perjalanan uantuk sampai pintu belakang yang menghadap ke laut. Itupun hanya dilakukan dengan bantuan lampu petromaks sebab keadaannya yang demikian gelap, banyaknya lorong, sesekali ada tebing dan jurang yang terjal sehingga sangat riskan ditelusuri dengan bantuan obor apalagi tanpa alat penerang sama sekali. Bahkan tanpa bantuan jasa pemandu pengunjung dapat tersesat pada lorong-lorong yang berupa lingkaran setan. Selain sebagai petualangan menarik, obyek yang dijanjikan adalah antara lain rembesan air dari atas menembus atap gua kemudian membeku membentuk bebatuan yang beragam, kesejukan berada di dalam perut bumi, bagaimana tetesan air dari akar pepohonan, romantika bagi mereka yang sedang bercinta dan lain-lain. Pokoknya tanpa disadari pengunjung akan larut dalam renungan, melakukan tadabbur alam secara refleks yang berujung pada ungkapan betapa kuasa pencipta semua ini dan ungkapan kekaguman yang lain. Tidak akan ada pengunjung yang pulang dalam keadaan hampa akan kesan.

ANGOLONGENNA NAGA E

Banyak orang berpendapat bahwa pedoman orang dulu (TORIOLOTA) terkait dengan tahyul...tapi apa salahnya kita mengkaji dan mempelajari secara ilmiah,...ini adalah bagian budaya yang bergeser dan terlupakan. Seperti postingan kita kali ini... Angolongenna Nagae...



keterangan diatas hanya kiasan yang mengantar kita kepada permaknaan doa dan ikhtiar dalam melakoni sesuatu, memulai sesuatu pekerjaan, atau yang lain-lain.Maksudnya : betapa kuatnya tatanan, aturan, norma TORIOLOTA dalam aktivitasnya, semua didasarkan pada acuan konsep pembiasaan, kedisiplinan pada pesan (PAPPASENG), sehingga menjadi satu modal dalam BERKEYAKINAN, BERAGAMA...Tidaklah heran orang dulu kebanyakan EKSTRIM dalam Keyakinan Beragama, tidak mudah luntur dan terpengaruh kepada paradigma...

wassalam
Rayhand...ponakannya CHAIRIL...hehehe...

OMPONA ULENGNGE

Kita sudah bahas tentang ompo uleng dan permaknaanya, nah..Postingan kali ini adalah catatan TORIOLOta tentang perhitungan ompona ulengnge, seperti berikut ini...Pelajariki baek-baek selessureng...!!!


semoga bermanfaat dan menjadi koleksi pelestarian...
wassalam

BACA-BACA OGI

Sebagian besar doa dan harapan orang bugis terutama TORIOLOTA tergambar dalam baca-baca...
maaf jika sekiranya ada kekeliruan dalam postingan ini...mohon dibetulkan lewat kolom komentar.Kita Simak berikut ini:...

“Tarekat Tuntunan Shalat yang benar”
”Pasang Sajadah”
” Tubuku sempajang, atikku massempajang, nyawaku bawa sempajang, tajakku naletturi sempajang”
………………………………………………………………………………………………………..
”Sallina”
Muhammad sabbika, jibrilu palettukennga riallahu taala, nappaki mannia Baca Sallina sempajangnge.
Sebelum dibaca allahu akbar kabiran (doa iftitah), baca dulu diatas kemuadian baca alhamdulillah (Alfatihah). apabila membaca salam baca muhammad riataukku jibrilu ri abioku.
…………………………………………………………………………………………………………..
”Suke bola makanjae”
Sukei suketta wali-wali isukei ulu susutta wali-wali, isukei eddata wali-wali
……………………………………………………………………………………………………………
”Baca Mattunu Dupa”
Lapaisseng asemmu batu langi muteppa ritaue niaseng dupa asemmu muteppa ritanae nariaseng dupa asemmu muteppa ritanae nariaseng lapalettu, paletturengnga rianu
…………………………………………………………………………………………………………..
”Baca Timpa Tange”
Utimpa tangeku upasitimpa tajanna linoe oh puakku pompoi matanna essoe pasiomporengnga dalleku sangadi matengngei menre matanna essoe nama tengngeto dalleku
………………………………………………………………………………………………………….
”Baca Taro Doi”
Yarase asemmu doi lapaulle ambo indomu utaro kassaramu warekkeng alusumu nurung mattaro muhammad tambai allah taala pabbarakko upasitako seppulo juta ettana sitaung welliakko anu, ucerako anu, tawana waie utang
…………………………………………………………………………………………………………
”Baca Palao Doi”
Eh yarase muhammad palaui kassaramu nalau rupa doi kutaro tawana apie anginge upalau eh yarase tellu pennino ri laommu mulisu ri alusumu
…………………………………………………………………………………………………………
“Baca Mattaro Berre”
Ideceng asemmu berre ibumbu ola ipenno asemmu pabbaresseng, walu malako malaikat tambaiko mattiro uwaina tasie nametti pabba resseku leppappi olae naleppang olakku.
…………………………………………………………………………………………………………
“Baca Mataneng – Taneng”
Kung mappala, kung mappamula noko mulessi menre mupenno, duppai topole panguju tollau tuanako labaco nennia becce amin ya’ rabbal alamin.
…………………………………………………………………………………………………….
‘Baca Matteppang Bibi Ripangempange”
Nabi helere nabimmu uweie, imallebbang asemmu wai kung massa asemmu tana, kung mappamula, kung ipammulai muallise muenre mupenna alhamdulillah sultanika.
…………………………………………………………………………………………………………..
“Baca Bukka Balu”
Ujala pasa’ujala pappasa, golla pangelli bere-bere lessi mabbalunamalessi pangallie.
…………………………………………………………………………………………………………..
“Baca Piara Olo–Kolo”
Senge asemmu olokolo, api pabbijako,wai pajokoko angin padisingiko tana pakkianakiko karna allahu taalah kunfayakung.
Wassalam…!!
Rayhand

Lontara Bugis

“Pannessaiengngi Rahasiana Ompona Ulengnge”
• 3 ompona ulengnge. nari passuna neneta adam pole risuruga
• 5 ompona ulengnge natelleng lopinna nabi nohong ritengngatasi
• 12 ompona ulengnge naritunu nabi iberahim as pole nabi namrut rajana kapere’e
• 16 ompona ulengnge nari buang nabi yusupu nori bujungnge kudaenna
• 21 ompona ulengnge narilanti fir’aun puanna kapere’e
• 24 ompona ulengnge yemme’i bale nabi yunus as ritengnga tasi’e
• 25 ompona ulengnge nakenna tikka tana arab pitu taung ettana ananami nabalu naengka nanre
…………………………………………………………………………………………………………..
“Panessaiengngi Esso Natuju Muharram”
• senin = mega dalle / mega bosi/mega anging
• selasa = makura bosi / mega anana jaji / malessi taueruntu abala
• rabu = mompo masagalae/ serrangi / mega tau masolang aga banna nasaba mabbettui bulue
• kamis = maega ricu / mega bosi / masussai pemerintahange / menre maneng agagae
• Jumat = biasa taue punoi baenena makanja asselena taneng tanengnge
• sabtu = maega bosi biasa kedo tanae maega dalle
• ahad = makanjai taneng tanenge makurang wassele
………………………………………………………………………………………………………..
“Ompona Ulengnge”
1 ompona ulengnge
“esso nyarangi majai yappanoreng bine, isaureng tennung yappatetongeng bola”
2 ompona ulengnge
“esso jongai anana jaji mawijai, agi-agi ripegau madeceng manengngi, madeceng rilaungeng sompe, madeceng rilaungeng mamusu, pakalaki”
3 ompona ulengnge
“esso singa’i maja yappabottingeng, yattanengeng, yappatettongeng bola, yappanoreng bine, yattaneneng, rilaungi wanua runtukki lasa”
4 ompona ulengnge
“esso meongi najajiangngi ana oroane madeceng, madeceng yappanoreng bine, yappamulang balu-balu, yappabottingeng, yattanengeng”
5 ompona ulengnge
“esso tedong nakennaki lasa maladdei, agi agi ripugau majamanengngi ritu, anana jaji madorakai, wettu natelleng lopinna nabi nohong”
6 ompona ulengnge
” esso laoi madeceng rialaungeng sompe, yappa bottingeng yangelliang olokolo, yappanoreng bine”
7 ompona ulengnge
“esso balei maja tomminreng nakennaki lasa maladdei, madecengmi yonroi mebbu parewa pakkaja”
8 ompona ulengnge
“esso sapingngi medeceng yappabottingeng, ateddengengngi masitta moi iruntu”
9 ompona ulengnge
“esso asui rilaongengngi wanua runtukki abala, maja yappatetongeng bola, madeceng yonroi massinge”
10 ompona ulengnge
“esso nagai najajianggi ana mancaji ana maufe masempo dalle, nakennaki lasa magatimui paja, makessing rilaungeng sompe, matteppang bibi ri pangempangnge.”
11 ompona ulengnge
“esso macangngi madeceng ri laungeng wanua, yenrekeng mekkah, yappamulang balu-balu, makessing narekko engka anana jaji masmpo dalle”
12 ompona ulengnge
“esso nyarangi madeceng rilaungeng makara-kara ri kantoroe pakalaki, madeceng ri yabbolang, yappammulang balu-balu”
13 ompona ulengnge
” esso gajai agi-agi ri jama maja manengngi ritu, laoki ri wanua runtuki lasa karing”
14 ompona ulengnge
“esso sapingngi madeceng yappamulang balu-balu, yappatettongeng, yappabottingeng, rekko malasaki masitta paja, esso najajiangnge nabi sulaiman”
15 ompona ulengnge
“esso bembe maja yappatetongeng bola tennasalai lasa bolata, rilaung wanua naka anajaji makanja tapi matengnge totona kawin”
16 ompona ulengnge
“esso bawi madeceng yonroi taneng ana lorong-lorong, agi-agi rijama maja maneng rit, madeceng toi yonroi mebbu sepu doi (tabungeng)”
17 ompona ulengnge
“esso jakariniai madeceng rialungeng sompe, madeceng rilaungeng madduta, rilauang tau mapparentae, malasaki magatti paja, ateddengeki magatti iruntu”
18 ompona ulengnge
“esso sapingngi madeceng rilaungeng sompe, jajiang ana makessing rupa, esso ri ebbuna majanna ulengnge”
19 ompona ulengnge
“esso monye’i madecengngi yappamulang balu-balu, rilauang wanua, jajiang ana masempo dallei”
20 ompona ulengnge
” esso walli madeceng rilauangeng madduta itarimaki insya allah, najajiangngi anana malampe sungei masempo dallei manyameng kininnawa toi lao ri padanna ri pancaji naiyya esso najaiangngi nabi ismail”
21 ompona ulengnge
“esso macangngi najajiangi anana madorakai ri puangnge, maja yappabottingeng, madeceng yappamulangeng lanro bessi”
22 ompona ulengnge
“esso tau esso ripanjajinna malaekae, madeceng rilauangeng sompe, rilaungeng mammusu pakalaki, idi rilaoi rikalaki, agi-agi rijama madeceng maneng, malasaki masittamui paja”
23 ompona ulengnge
“esso ulai madeceng riappatettongeng bola, yappabottingeng, yappasangeng belle, maja yappanoreng bine, madeceng yonroi melli pakiang masitta tattamba”
24 ompona ulengnge
” esso pariwi maja yappabbottingeng maponco’i, madeceng yonroi lati arung, esso najajiangnge firaun, matoai bale nabi yunus, maja narekko anana jaji”
25 ompona ulengnge
“esso anyarangi maja riloang sompe mateki rilaotta, riappabottingeng maponcoi, majai ri laoang mabbalu, esso najajiangngi iblis, najajiangngi anana madorakai”
26 ompona ulengnge
“esso sarai madeceng rilaoang sompe, riangelliang, yappabottingeng, najajiangngi anana malampe sungei”
27 ompona ulengnge
“esso ulengngi najajiangi anana maraja taoi ripadanna ripancaji ripuangnge, makessing riappanoreng bine sibawa mabbalu-balu”
28 ompona ulengnge
“esso kalapungngi madeceng yonroi mabbu parewa pakkaja, rilaoang, yappabottingeng, yataneng-tanengeng”
29 ompona ulengnge
“esso atiwi makessing rilaoang madduta, sompe cabigi, najajianggi anana pallasalasangngi”
30 ompona ulengnge
“esso manningi madeceng yappamulang dangkang, mattaneng taneng, narekko rilaoangi wanua assarapi, najajiangi anana matinului pigau pasuroanna allahu taala, duae pajajianna iyana wettu ripancajinna esso wennie”

by...Rayhan

Lontara Tanra Esso

Sebuah Petunjuk Leluhur dalam merencanakan sesuatu kegiatan, MAPPABOTTING, MAPPAMULA, Dll. Biasanya mereka mencari waktu yang tepat seperti yang tertera dalam LONTARA TORIOLOTA...ini adalah koleksi pribadi yang saya salin ulang.
Mudah-mudahan Postingan saya kali ini dapat respon yang baik, khususnya pada keluarga besar WIJANNA SOLORENG DATUE

Insya Allah saya berusaha menyalin petunjuk OMPO ULENG dan ANGOLONGENNA NAGAE pada postingan berikutnya...

salam tuk semua keluarga...

Rayhand


PERJALANAN ARUNG PALAKKA

Arung Palakka


Adalah Raja Bone ke-15 lahir pada 15 September 1634. Nama lengkapnya adalah Arung Palakka La Tenri Tatta Petta Malampee Gemme’na. Dalam sejarah Sulawesi Selatan di abad ke-17, khususnya dalam perang Makassar nama Latenri Tatta Arung Palakka tidak dapat dipisahkan. Menurut Mr. Strotenbekker, seorang sejarawan Belanda dalam bukunya tertulis silsilah yang menyatakan, bahwa Datu Soppeng ri Lau yang bernama Lamakkarodda Mabbelluwa’E kawin dengan We Tenri Pakku Putri raja Bone ke-6 La Uliyo Bote’E MatinroE ri Itterung.


Dari perkawinan ini lahir seorang putri yang bernama We Suji Lebba’E ri Mario. We Suji Lebba’E kawin dengan Raja Bone ke-11 Latenri Rua Sultan Adam matinroE ri Bantaeng, Raja Bone yang pertama kali memeluk agama Islam.

Dari perkawinan itu lahir seorang putranya yang bernama We Tenri Sui’ Datu Mario ri Wawo. We Tenri Sui’ kawin dengan seorang bangsawan Soppeng yang bernama Pattobune. Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga. Dari perkawinan itu lahir :

1.Da Unggu (putri)

2.Latenri Tatta Arung Palakka (putra)

3.Latenri Girang (putra)

4.We Kacumpurang Da Ompo (putri)

5.Da Emba (putri), dan

6.Da Umpi Mappolobombang (putri)

Jadi Latenri Tatta Arung Palakka adalah bangsawan Bone dan Soppeng, cucu dari Raja Bone ke-11 La Tenriruwa La Pottobune bertempat di Lamatta di daerah Mario ri Wawo dalam wilayah kerajaan Soppeng. Dari enam orang anak La Pottobune Datu Lompuleng Arung Tana Tengnga dengan isterinya We Tenri Sui Datu Mario ri Ase, ada dua orang diantaranya yang menjadi pelaku sejarah Bone di abad ke-17 yaitu :

1.La Tenri Tatta Daeng Serang yang memimpin peperangan melawan kekuasaan Gowa, dan

2.We Mappolobombang yang melahirkan Lapatau matanna Tikka Raja Bone ke-16

Oleh karena itu La Tenri Tatta Arung Palakka tidak mempunyai anak, sekalipun istrinya (I Mangkau Daeng Talele) sangat mengharapkannya, maka ia mengangkat keponakannya yang bernama La Patau menjadi raja Bone ke-16 dengan gelar Sultan Alamuddin Petta MatinroE ri Nagauleng.

Arung Palakka, diantara bangsawan-bangsawan Bone dan Soppeng yang diasingkan dari negerinya, setelah Baginda La Tenri Aji kalah dalam pertempuran di Pasempe pada tahun 1646, terdapat Arung Tana Tengnga La Pottobune dan ayahnya, yaitu Arung Tana Tengnga Tua

Wilayah kepangeranan Tana Tengnga terletak di tepi sungai WalennaE berdekatan dengan Lompulle dan bernaung di bawah daulat Kerajaan Soppeng. Dalam pengasingan itu La Pottobune membawa serta istrinya, We Tenri Sui Datu Mario ri Wawo dan putranya La Tenri Tatta yang baru berusia sebelas tahun. Ada lagi empat anak perempuannya, akan tetapi mereka itu ditinggalkan dan dititipkan pada sanak keluarganya di Soppeng, karena takut jika mereka akan mendapat cedera dalam pengasingannya. Mereka itu ialah :

1.We Mappolobombang, yang kemudian menjadi Maddanreng Palakka dan menikah dengan Arungpugi atau Arung Timurung La PakkokoE Towangkone, putra Raja Bone La Maddaremmeng;

2.We Tenrigirang, yang kemudian bergelar Datu Marimari dan kawin dengan Addatuang To dani, Raja dari lima Ajangtappareng (Sidenreng Rappang, Alitta, Sawitto, dan Suppa);

3.Da Eba, yang kemudian menikah dengan Datu Tanete Sultan Ismail La Mappajanci;

4. Da Ompo

Adapun We Tenri Sui adalah anak Sultan Adam La Tenri Ruwa, Raja Bone ke-11 yang wafat dalam pengasingan di Bantaeng, karena ia lebih memilih memeluk agama Islam dari pada tahta Kerajaan Bone.

Dat We Tenri Sui memberikan pula gelaran Datu Mario ri wawo kepada La Tenri Tatta. Dengan gelaran itulah pangerang ini terkenal sehingga ia diakui oleh Aruppitu dan rakyat Bone sebagai Arung Palakka. Suatu kedudukan dan gelaran yang menurut adat telah diberikan kepada pangerang yang terdekat dari tahta Kerajaan Bone. Pengakuan yang menjadikannya orang pertama diantara semua bangsawan bone itu, diperolehnya dalam tahun 1660, menjelang perang kemerdekaan melawan Gowa, di mana ia memegang peranan terpenting di samping To Bala.

LA TENRI TATTA TO UNRU ARUNG PALAKKA
(1667 – 1696)


Setelah La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah oleh kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE.
La Tenri Tatta To Unru adalah anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri Sui adalah We Baji atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La Tenri Ruwa Arung Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah yang mula-mula menerima agama Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga dianggap sebagai orang pertama menerima agama Islam di Celebes Selatan. Karena pada waktu itu orang Bone menolak agama Islam, maka Arumpone La Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng dan disanalah ia meninggal dunia sehingga dinamakan MatinroE ri Bantaeng.
Ketika La Tenri Tatta To Unru baru berusia 11 tahun, Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa, Bone diserang dan dikalahkan oleh Gowa. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta beberapa anak bangsawan Bone lainnya oleh KaraengE ri Gowa dalam peristiwa yang disebut Beta Pasempe ( Kekalahan di Pasempe ). Pasempe adalah sebuah kampung kecil yang dipilih oleh Arumpone La Tenri Ruwa untuk melakukan perlawanan dan disitulah dia dikalahkan. Semua tawanan Gowa termasuk orang tua La Tenri Tatta Arung Palakka dibawa ke Gowa.
Sesampainya di Gowa, tawanan-tawanan itu dibagi-bagi kepada Bate SalapangE ri Gowa. La Pottobune, isterinya We Tenri Sui dan anaknya La Tenri Tatta To Unru diambil oleh KaraengE ri Gowa. Ditempatkan di SalassaE (Istana) Gowa dan ditunjukkan sebidang tanah untuk digarap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Disitu pulalah membuat pondok untuk ditempatinya.
Karena La Tenri Tatta To Unru dianggap masih anak-anak, maka To Unru selalu diikutkan oleh KaraengE ri Gowa apabila bepergian. La Tenri Tatta biasanya ditugasi untuk membawa tombak atau sebagai –pakkalawing epu (pembawa perlengkapan) yang diperlukan oleh KaraengE ri Gowa dalam perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta dikenal banyak kalangan, termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa. La Tenri Tatta To Unru memiliki sifat-sifat yang baik, jujur dan cerdas. Oleh karena itu La Tenri Tatta To Unru diambil oleh Karaeng Patingalloang untuk diajari tentang adat-istiadat Mangkasar (Gowa).
Setelah Karaeng Patingalloang Tu Mabbicara Butta ri Gowa meninggal dunia, maka yang menggantikannya adalah saudaranya yang bernama Karaeng Karunrung. Karaeng Karunrung inilah yang terkenal sangat kejam terhadap orang-orang Bone yang menjadi tawanan Gowa. Ini pulalah sebagai Tu Mabbicara Butta ri Gowa yang minta kepada Tobala Jennang Bone untuk dikirimi sebanyak 10.000 orang Bone yang akan dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng.
Jumlah tersebut tidak bisa dikurangi, diganti atau dibayar. Walaupun seseorang yang telah ditunjuk itu ada yang bisa menggantikannya atau mampu untuk membayarnya, namun oleh Karaeng Karunrung tidak membenarkannya.
Ketika orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu tiba, langsung dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Tiap-tiap 10 orang diawasi oleh seorang mandor dari orang Gowa sendiri. Mereka dipekerjakan mulai pagi sampai malam dan hanya diberi kesempatan istirahat pada waktu makan. Makanannya tidak ditanggung oleh Karaeng Karunrung, tetapi harus dibawa sendiri dari Bone.
Adapun La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang, sudah kawin dengan seorang anak bangsawan Gowa yang bernama I Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang Bone yang jumlahnya 10.000 itu bekerja, La Tenri Tatta To Unru menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat benteng. Ia juga merasakan bagaimana penderitaan orang Bone disiksa oleh mandor-mandor orang Gowa yang mengawasi pekerjaan itu.
Suatu ketika, KaraengE ri Gowa akan memperingati Ulang Tahunnya, maka diadakanlah perburuan rusa di Tallo. Seluruh rakyat diharuskan mengikuti perburuan tersebut. La Tenri Tatta Daeng Serang yang biasa membawakan tombak KaraengE, kebetulan tidak ikut. Oleh karena itu orang tuanya La Pottobune’lah yang ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa untuk membawakan tombaknya.
Sesampainya KaraengE ri Gowa pada lokasi perburuan rusa di Tallo, terpencarlah orang banyak baik sebagai pemburu atau sebagai penunggang kuda untuk menelusuri hutan-hutan mencari rusa. Kebetulan ada dua orang pekerja parit yang melarikan diri dan bersembunyi dihutan, karena disangkanya dirinya yang dikepung. Kedua orang tersebut ditangkap oleh pemburu dan dihadapkan kepada Karaeng Karunrung. Keduanya disiksa, dipukuli sampai meninggal dunia.
La Pottobune’ orang tua La Tenri Tatta sangat prihatin menyaksikan penyiksaan itu, sehingga tidak dapat menahan perasaannya. Datu Lompulle tidak mampu menahan emosinya dan pada saat itu juga ia mengamuk dengan menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang dibawanya. Setelah membunuh banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan disiksa seperti layaknya pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena La Pottobune’ memiliki ilmu kebal terhadap senjata tajam, maka nantilah dia meninggal dunia setelah dimasukkan dalam lesung dan ditumbuk dengan alu.
Sejak kejadian itu, La Tenri Tatta To Unru Daeng Serang tidak bisa lagi tidur. Setiap saat ia selalu berdoa kepada Dewata SeuwaE agar diberi jalan yang lapang untuk kembali menegakkan kebesaran Tanah Bone.
Suatu saat pagi-pagi sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya keluarga dekatnya, seperti ; Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya. Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut. Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Sesampainya di Bone La Tenri Tatta To Unru langsung menemui Jennang Tobala dan Datu Soppeng yang bernama La Tenri Bali yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Datu Soppeng La Tenri Bali dengan Jennang Tobala memang telah membuat suatu kesepakatan untuk membangkitkan kembali semangat orang Bone melawan Gowa. Kesepakatan antara Jennang Tobala dengan Datu Soppeng inilah yang kemudian dikenal dengan nama Pincara LopiE ri Attapang
Kepada pamannya Datu Soppeng, La Tenri Tatta To Unru minta bekal untuk dipakai dalam perjalanan, karena dia akan pergi jauh mencari teman yang bisa diajak kerja sama melawan Gowa. Sebab menurut perkiraannya perjalanan ini akan memakan waktu yang lama dan akan menelan banyak pengorbanan.
Tidak berapa lama, datanglah orang Gowa dengan jumlah yang sangat besar lengkap dengan persenjataan perangnya mencari jejaknya. Terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat antara La Tenri Tatta To Unru bersama pasukannya melawan orang Gowa di Lamuru. Tetapi karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, akhirnya La Tenri Tatta To Unu bersama pasukannya mundur kearah utara. Sementara orang Gowa yang merasa kehilangan jejak, melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone orang Gowa betempur lagi melawan Tobala dengan pasukannya yang berakhir dengan tewasnya Jennang Tobala Petta PakkanynyarangE.
Setelah Tobala Petta PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar ). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.
Tewasnya Tobala Arung Tanete Petta PakkanynyarangE, oleh KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin merasa perlu untuk mengangkat Jennang yang baru di Bone. Ditunjuklah La Sekati Arung Amali sebagai pengganti Tobala, sementara Datu Soppeng La Tenri Bali ditawan di Gowa dan ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng.
Karena merasa selalu diburu oleh orang Mangkasar ( Gowa ), La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya semakin terjepit dan sulit untuk tinggal di Tanah Ugi. Oleh karena itu bersama Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana sepakat untuk menyeberang ke Butung Tanah Uliyo. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan siapa tahu nanti di Butung Tanah Uliyo bisa mendapatkan teman yang dapat diajak bekerja sama melawan Gowa. Dipersiapkanlah sejumlah perahu dan pada saat yang tepat La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya bertolak dari pantai Cempalagi Ujung Pallette menuju ke Butung Tanah Uliyo.
Beberapa saat saja setelah meninggalkan Cempalagi Ujung Pallette, orang Gowapun datang mencari jejaknya. Tetapi La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya telah berada ditengah laut menuju ke Butung Tanah Uliyo. Dengan demikian orang Gowa segera kembali untuk menyampaikan kepada KaraengE ri Gowa bahwa La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya tidak berada lagi di daratan Tanah Ugi. Besar kemungkinannya ia menyeberang ke Butung Tanah Uliyo untuk minta perlindungan kepada Raja Butung.
Mendengar laporan itu, KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Arung Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut. Setelah berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.
Sesampainya di Tanah Uliyo, La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka diterima baik oleh Raja Butung dan diberinya tempat untuk istirahat dengan pengikutnya. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata ; ”Tinggallah sementara disini, nanti kalau kapal Kompeni Belanda yang akan menuju ke Ambon dan Ternate singgah disini, barulah saya pertemukan denganmu. Sebab sesungguhnya saya sangat menghawatirkan kalau nantinya orang Gowa yang disuruh oleh KaraengE ri Gowa bisa menemukan tempatmu disini. KaraengE ri Gowa memang sangat marah kepada saya, karena kapal-kapal Kompeni Belanda selalu singgah disini apabila akan berangkat menuju ke Ambon dan Ternate”.
Pada saat La Tenri Tatta To Unru akan bertolak ke Butung, ia singgah bernazar di gunung Cempalagi dekat Pallette. Dalam nazarnya tersebut, La Tenri Tatta To Unru bertekad tidak akan memotong rambutnya sebelum dirinya bersama seluruh pengikutnya kembali dengan selamat di Tanah Ugi. Sejak itu rambutnya dibiarkan menjadi panjang dan digelarlah MalampeE Gemme’na.
KaraengE ri Gowa sudah mengetahui bahwa La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama pengikutnya telah berada di Butung Tanah Uliyo. Oleh karena itu disiapkanlah pasukan dengan jumlah besar yang diperlengkapi dengan senjata perang untuk menyerang Butung Tanah Uliyo. Apalagi maksud untuk menyerang Butung memang telah lama direncanakan, karena Butung selalu menjadi tempat persinggahan kapal-kapal Kompeni Belanda kalau akan berangkat ke Ambon dan Ternate.
Tidak lama kemudian utusan KaraengE ri Gowa datang ke Butung untuk mencari La Tenri Tatta bersama pengikutnya. Tetapi sebelum utusan itu naik kedarat, Raja Butung menyampaikan kepada La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya untuk bersembunyi disebuah sumur besar dan tidak berair tidak jauh dari istana Raja Butung. Kepada La Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata ;” Saya akan bersumpah nanti kalau utusan KaraengE ri Gowa naik untuk menanyakan keberadaanmu, bahwa kamu dengan seluruh pengikutmu tidak berada diatas Tanah Uliyo”.
Karena pernyataan Raja Butung bahwa La Tenri Tatta bersama seluruh pengikutnya tidak berada diatas Tanah Uliyo dan utusan KaraengE ri Gowa memang tidak melihat adanya tanda bahwa orang yang dicarinya ada di tempat itu, maka utusan itupun pamit dan kembali ke Gowa.
KaraengE ri Gowa rupanya tidak kehabisan akal, maka disusunlah strategi baru dengan memperbanyak pasukan dan diperlengkapi dengan persenjatan untuk menyerang Butung sampai ke Ternate. Dipanggilah Datu Luwu La Setiaraja bersama Karaeng Bonto Marannu untuk memimpin pasukan ke Tanah Uliyo. Menurut rencananya setelah Butung kalah, serangan akan dilanjutkan ke Ternate untuk menangkap Raja Ternate.
Berita tentang rencana KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda.
Atas perintah KaraengE ri Gowa, Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu berlayar ke Butung membawa pasukan untuk menyerang Butung dan selanjutnya Ternate. Sementara itu, berita tentang keberangkatan pasukan Kompeni Belanda bersama La Tenri Tatta ke Butung telah sampai pula pada KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa segera mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng ke Bone dan Datu Soppeng yang bernama La Tenri Bali dikembalikan ke Soppeng. Didudukkanlah Bone sebagai Palili (daerah bawahan) dari Gowa yang berarti Bone telah lepas dari penjajahan Gowa.
Adapun maksud KaraengE ri Gowa mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng untuk menduduki kembali Mangkau’ Bone, agar orang Bone tidak lagi melihat Gowa sebagai lawan yang sedang bermusuhan dengan Kompeni Belanda. Sementara La Tenri Bali Datu Soppeng yang tadinya ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng sebagai tawanan, dikembalikan pula ke Soppeng. Selanjutnya Soppeng didudukkan pula sebagai Palili dari Gowa sebagaimana halnya Bone. Sejak itu Soppeng bukan lagi sebagai jajahan Gowa melainkan sebagai daerah bawahan saja.
Kapal-kapal Kompeni Belanda yang memuat pasukan tempur yang dipimpin oleh Cornelis Speelman tiba di Butung. Diatas kapal ada La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama dengan seluruh pengikutnya. Sesampainya di Butung, La Tenri Tatta To Unru Arungt Palakka MalampeE Gemme’na memperoleh informasi bahwa yang memimpin pasukan Gowa adalah Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu. Oleh karena itu La Tenri Tatta berkata kepada Cornelis Speelman agar jangan melepaskan tembakan. La Tenri Tatta memberi penjelasan kepada Cornelis Speelman bahwa Bone dengan Luwu sama-sama jajahan Gowa dan tidak pernah bermusuhan. Begitu pula Karaeng Bonto Marannu tidak pernah terjadi perselisihan faham dengannya. Keduanya hanya disuruh oleh KaraengE ri Gowa unuk menyerang orang Bone.
Selanjuitnya La Tenri Tatta mengajak kepada Cornelis Speelman untuk mengirim utusan kedarat guna menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu.Siapa tahu ada jalan yang bisa ditempuh dan tidak saling bermusuhan sesama saudara. Ajakan itu disetujui oleh Speelman dan diutuslah beberapa orang naik menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu. Sesampainya ditempat Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, utusan itu menyampaikan bahwa Arung Palakka bersama Cornelis Speelman mengharapkan Datu Luwu bersama Karang Bonto Marannu turun ke kapal dengan mengibarkan bendera putih untuk berbicara secara baik-baik.
Mendengar apa yang disampaikan oleh utusan itu, Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu sependapat bahwa lebih banyak buruknya dari pada baiknya jika kita saling bermusuhan sesama saudara. Kalau kita berdamai, hanyalah senjata kita yang diambil. Tetapi kalau kita bertahan untuk berperang, maka senjata beserta seluruh pasukan kita ikut diambil.
Setelah saling bertukar pendapat antara Datu Luwu dengan Karaeng Bonto Marannu yang mendapat persetujuan dari seluruh pasukannya, maka turunlah ke kapal Kompeni Belanda menemui La Tenri Tatta Arung Palakka dan Cornelis Speelman sebagai pimpinan pasukan Kompeni Belanda. Dari atas kapal nampak Arung Belo, Arung Pattojo, Arung Ampana serta Arung Bila menjemput kedatangan Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu beserta beberapa pengikutnya.
Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu menyatakan bergabung dengan Arung Palakka, makanya keduanya minta perlindungan Kompeni Belanda. Untuk mengamankan keduanya dari KaraengE ri Gowa, dibawa ke sebuah pulau oleh Cornelis Speelman. Nanti setelah perang selesai, barulah kembali ke negerinya. Sedangkan pasukannya dinaikkan ke kapal untuk dibawa pulang ke kampungnya setelah dilucuti seluruh senjatanya.
Sementara itu, berita tentang dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone dan La Tenri Bali ke Soppeng oleh KaraengE ri Gowa dimana Bone dan Soppeng didudukkan sebagai Palili (daerah bawahan), telah sampai kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Lalu Arung Palakka mengirim utusan ke Bone dan Soppeng agar Arumpone dan Datu Soppeng tetap mengangkat senjata untuk melawan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin.
La Tenri Tatta Arung Palakka bersama Cornelis Speelman dengan persenjatan yang lengkap meninggalkan Butung menyusuri daerah-daerah pesisir yang termasuk kekuasan KaraengE ri Gowa. Banyak daerah pesisir yang tadinya berpihak kepada Gowa, berbalik dan menyatakan berpihak kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Sementara melalui darat, Arung Bila, Arung pattojo, Arung Belo dan Arung Ampana terus membangkitkan semangat orang Bone dan orang Soppeng untuk berperang melawan Gowa. Beberapa daerah di Tanah Pabbiring Barat berbalik pula melawan KaraengE ri Gowa.
Dengan demikian keadaan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin sudah terkepung. Kompeni Belanda dibawah komando Cornelis Speelman menghantam dari laut, sementara Arung Palakka dengan seluruh pasukannya menghantam dari darat. Semua arung yang tadinya membantu Gowa kembali berbalik menjadi lawan, kecuali Wajo tetap membantu Gowa.
Karena merasa sudah sangat terdesak dan pertempuran telah banyak memakan korban dipihak Sultan Hasanuddin, maka pada hari Jumat tanggal 21 November 1667 M. KaraengE ri Gowa I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin bersedia mengakhiri perang. Kesediaannya itu ditandai dengan suatu perjanjian yang bernama Perjanjian Bungaya. Perjanjian mana ditanda tangani oleh Sultan Hasanuddin dengan Cornelis Speelman Admiral Kompeni Belanda. Sementara perjanjian Sultan Hasanuddin dengan Arung Palakka adalah melepaskan Bone dan Soppeng sebagai jajahan Gowa.
Setelah perang berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia meninggalkan Bone”.
La Tenri Tatta Arung Palakka menjawab ; ”Saya menjunjung tinggi keinginan Puatta, tetapi saya tetap berpendapat bahwa nantilah api itu padam baru dicarikan penggantinya, artinya nantilah Arumpone benar-benar sudah tidak ada baru diganti”.
Oleh karena itu La Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai ia meninggal dunia. Akan tetapi hanyalah simbol belaka, sebab yang melaksanakan pemerintahan adalah kemenakannya yang bernama La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka.
Bagi Kompeni Belanda hubungannya dengan arung-arung di Tanah Ugi harus melalui La Tenri Tatta Arung Palakka. Cornelis Speelman meminta kepada Gubernur Jenderal di Betawe agar Arung Palakka diangkat menjadi Arumpone. Selain itu ia juga diangkat menjadi pimpinan bagi arung-arung di Tanah Ugi, karena itu digelarlah To RisompaE.
Dalam tahun 1672 M. Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia, barulah Arung Palakka resmi menjadi Arumpone. Diseranglah Wajo pada bulan Agustus 1670 M, karena Arung Matowa Wajo yang bernama La Tenri Lai belum mau mengalah pada saat diadakannya Perjanjian Bungaya. La Tenri Lai menyatakan kepada KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin bahwa perang antara KaraengE dengan Kompeni Belanda telah berakhir, tetapi perang Wajo dengan Arung Palakka belum selesai.
Oleh karena itu Sultan Hasanuddin menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk kembali ke Wajo bersama seribu pengikutnya. Sesampainya di Wajo, disusul kemudian oleh Arung Palakka bersama seluruh pengikutnya dan berperanglah selama empat bulan. Korban berguguran baik dari Bone, Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian TellumpoccoE, akhirnya Wajo kalah. Tosora terbakar, bobol sudah pertahanan Wajo.
Dalam peperangan yang dahsyat ini, Arung Matowa Wajo La Tenri Lai To Sengngeng gugur terbakar, maka digelarlah MatinroE ri Salokona. Dengan demikian datanglah utusan PillaE PatolaE minta untuk diadakan gencatan senjata atau menghentikan perang kepada Bone dan Soppeng.
Permintaan itu dijawab oleh Arung Palakka bahwa hanya diberi kesempatan selama tiga hari untuk mengurus jenazah Arung MatowaE ri Wajo. Setelah itu, sepakatlah orang Wajo untuk mengangkat La Palili To Malu menggantikan La Tenri Lai To Sengngeng sebagai Arung Matowa Wajo yang baru.
Arung Matowa Wajo inilah yang menyatakan diri kalah dengan Bone dan Soppeng. Pada tanggal 23 Sepetember 1670 M. La Palili To Malu naik ke Ujungpandang untuk menanda tangani perjanjian dalam Benteng Rotterdam. Arung Palakka MalampeE Gemme’na, ArungE ri Bantaeng, Datu Soppeng, Arung Tanete serta beberapa petinggi lainnya yang mengantar Arung Matowa Wajo La Palili To Malu masuk ke Benteng Rotterdam. Arung Matowa Wajo brsama dengan PillaE yang bernama La Pakkitabaja, PatolaE yang bernama La Pangabo, CakkuridiE yang bernama La Pedapi, inilh yang dinamakan TelluE Bate Lompo ri Wajo.
Setelah selesai berperang dengan Wajo tahun 1671 M. dikawinkanlah adik perempuannya yang bernama We Mappolo BombangE yang juga diangkat menjadi Maddanreng di Palakka. We Mappolo BombangE dikawinkan dengan La PakokoE Toangkone Arung Timurung yang juga Arung Ugi anak dari La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka dengan isterinya yang bernama We Hadijah I Dasaleng Arung Ugi.
Lima bulan setelah perkawinan adik perempuannya We Mappolo BombangE Maddanreng Palakka, dalam tahun 1671 M. Arung Palakka MalampeE Gemme’na mengadakan keramaian untuk melepaskan nazarnya ketika hendak meninggalkan Tanah Ugi. Nazarnya itu, adalah ; Kalau nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi menegakkan kembali kebesaran Bone dan Soppeng, saya akan membuat sokko (nasi ketang) tujuh macam setinggi gunung Cempalagi. Akan kusembelih seratus kerbau camara (belang) bertanduk emas, sebagai tebusan anak bangsawan Gowa –maddara takku – (berdarah biru) dan sebagai ganti kepala Karaeng Mangkasar (bangsawan tinggi) di Gowa.
Pada saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada pengikutnya bahwa ia memanjangkan rambutnya selama dalam perantauan dan nanti akan dipotong setelah kembali menegakkan kebesaran Bone. Maka setelah melepaskan nazarnya di Cempalagi, iapun memotong rambutnya, kemudian mangosong (bernyanyi) ; ” Muaseggi belobelo, weluwa sampo genoaE mattipi nattowa wewe. Muaseggi culecule weluwa sampo palippaling ri accinaongi awana”.
Ketika acara potong rambutnya yang diikuti oleh seluruh pengikutnya selesai, La Tenri Tatta To Unru melepaskan nazarnya dengan memotong 400 ekor kerbau dilereng gunung Cempalagi. Seratus ekor kerbau camara (Bulu hitam dengan belang dibagian ekor dan kepala) bertanduk emas (ditaruh emas pada tanduknya). Tiga ratus ekor sebagai pengganti kepala bangsawan Gowa dan bangsawan Mangkasar.
Setelah itu, diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone. Negeri-negeri itu antara lain ; Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur, Galingkang dan Sangalla. Kesemua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah Letta.
Pada tanggal 3 – 11 – 1672 M. We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka melahirkan anak laki-laki yang bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE La Tenri Bali MalaE Sanrang. Anak ini lahir dari perkawinannya denga La PakokoE Toangkone Arung Timurung.
Atas kelahiran La Patau Matanna Tikka membuat La Tenri Tatta Arung Palakka Petta To RisompaE sangat gembira. Karena menurut pikirannya, sudah ada putra mahkota yang bisa melanjutkan akkarungeng di Tanah Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka yang tidak memiliki anak, menganggap bahwa anak dari adik perempuannya itulah yang menjadi anak pattola (putra mahkota).
Setelah Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia dalam tahun 1672 M. sepakatlah anggota Hadat Bone yang didukung oleh seluruh orang Bone serta Pembesar Kompeni Belanda untuk mengangkat La Tenri Tatta Arung Palakka menjadi Arumpone menggantikan pamannya.
Agar dapat memperoleh keturumam La Tenri Tatta Arung Palakka kawin dengan We Yadda Datu Watu anak dari La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna dengan isterinya yang bernama We Bubungeng I Dasajo. Namun dari perkawinannya itu, tetap tidak memperoleh keturunan.
Adapun saudara perempuan La Tenri Tatta yang bernama We Kacimpureng yang kawin dengan To Dani juga tidak memiliki keturunan. Saudara perempuaannya yang tua yang bernama We Tenri Abang, dialah yang diberikan Mario Riwawo. Dia pula yang diikutkan sewaktu La Tenri Tatta pergi ke Jakarta dimasa berperang dengan Gowa. We Tenri Abang kawin dengan La Mappajanji atau biasa juga dinamakan La Sulo Daeng Matasa. Dari perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan yang bernama We Pattekke Tana Daeng Risanga.
Melihat bahwa tidak ada lagi musuh yang berarti, maka Arumpone La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka mengumpulkan seluruh Bocco (Akkarungeng Tetangga) di Baruga TelluE Coppo’na di Cenrana. Diadakanlah suatu pesta untuk disaksikan oleh arung-arung yang pernah ditaklukkannya, termasuk pembesar-pembesar Kompeni Belanda. Dalam kesempatan itu, Arumpone La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada semua yang hadir bahwa dirinya telah melepaskan nazar dan telah meletakkan samaja (sesaji) dan juga telah memotong rambutnya. Seluruh yang hadir pada pesta tersebut mendengarkan dengan baik tentang apa yang disampaikan oleh Petta To RisompaE.
“Dengarkanlah wahai seluruh orang Bone dan juga seluruh daerah passeyajingeng Tanah Bone, termasuk passeyajingeng keturunan MappajungE. Besok atau lusa datang panggilan Allah kepadaku, hanyalah kemanakan saya yang dua bisa mewarisi milikku. Yang saya tidak berikan adalah harta yang masih dimiliki oleh isteriku I Mangkawani Daeng Talele. Sebab saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng Talele tidak memiliki keturunan.
Adapun kemanakanku yang bernama La Patau Matanna Tikka, anak dari Maddanreng Palakka saya berikan akkarungeng ri Bone. Sedangkan kemanakanku yang satu anak Datu Mario Riwawo, saya wariskan harta bendaku, kecuali yang masih ada pada isteriku I Mangkawani Daeng Talele”.
La Patau Matanna Tikka berkata ; “Saya telah mendengarkan pesan pamanku Petta To RisompaE bahwa saya diharapkan untuk menggantikannya kelak sebagai Mangkau’ di Bone. Namun saya sampaikan kepada orang banyak bahwa sebelum saya menggantikan Puatta selaku Arumpone, apakah merupakan kesepakatan orang banyak dan bersedia berjanji denganku?”
Seluruh anggota Hadat dan orang banyak berkata ; “Katakanlah untuk didengarkan oleh orang banyak”.
Berkata lagi La Patau Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari apa yang dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan mengetahui bahwa ;
- Tidak akan ada lagi Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.
- Ketahui pula bahwa keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.
Seluruh orang banyak berkata ; ”Angikko Puang kiraukkaju Riyao miri riyakeng mutappalireng – muwawa ri peri nyameng” (Baginda angin dan kami semua daun kayu – dimana Baginda berhembus, disanalah kami terbawa – menempuh kesulitan dan kesenangan).
La Tenri Tatta To RisompaE, adalah Datu Mario Riwawo, Arung di Palakka sebelum memangku Mangkau’ di Bone menggantikan MatinroE ri Bukaka.
Sesudah perjanjian Bungaya 18 November 1667 M. dia menegakkan kembali kebesaran Bone, melepaskan dari jajahan Gowa. Begitu pula Soppeng, Luwu dan Wajo, semuanya dilepaskan dari jajahan Gowa. Datu Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang menguasai Tanah Toraja sampai di pegunungan Latimojong yang ikut membantu Bone, diangkat sebagai daerah passeyajingeng (daerah sahabat).
Oleh karena itu Arumpone La Tenri Tatta digelar Petta To RisompaE atas dukungan Kompeni Belanda yang memberinya kekuasaan sebagai Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Tanah Ugi. La Tenri Tatta To Unru lalu membuat payung emas dan payung perak di samping Bendera SamparajaE. Oleh Kompeni Belanda diberinya selempang emas dan kalung emas sebagai tanda kenang-kenangan Kompeni Belanda atas jasa baiknya menjalin kerja sama.
Selaku Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan, La Tenri Tatta Petta To RisompaE belum merasa puas kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu Kerajaan Besar Bone, Gowa dan Luwu tidak bersatu. Oleh karena itu, ia mengawali dengan mengawinkan bakal penggantinya sebagai Arumpone kelak yaitu La Patau Matanna Tikka WalinonoE dengan anak PajungE ri Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka dari isterinya yang bernama We Diyo Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara. Anak Datu Luwu tersebut bernama We Ummung Datu Larompong.
We Ummung Datu Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone dalam tahun 1686 M. Untuk Wajo diangkat dua orang berpakaian kebesaran, begitu pula Soppeng, Ajatappareng, Massenrempulu, Mandar PituE Babanna Minanga tiga orang, Kaili, Butung, Tolitoli masing-masing tiga orang. Sedangkan Ajangale’ dan Alau Ale’ masing-masing dua orang.
Adapun perjanjian La Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka, adalah ; ”Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan menjadi Datu di Luwu”.
Selanjutnya La Patau Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasar dengan perempuan yang bernama We Mariama (Siti Maryam) Karaeng Patukangang. Anak dari La Mappadulung Daeng Mattimung KaraengE ri Gowa yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalil dengan isterinya Karaeng Lakiung. Dalam acara perkawinannya itu, datang semua daerah sahabat Bone menyaksikannya.
Adapun perjanjian Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat dikawinkannya La Patau Matanna Tikka dengan We Mariama adalah ; ”Kalau nantinya La Patau dengan We Mariama melahirkan anak laki-laki, maka anaknya itulah yang diangkat menjadi Karaeng di Gowa”. Oleh karena itu maka hanyalah anak We Ummung dari Luwu dan anak We Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Sementara yang lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi dia hanya ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’). Kecuali kalau anak We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.
Aturan yang berlaku di TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah - tenri pakkarung cera’E – tenri attolang rajengE (cera’ tidak bisa menjadi Arung dan rajeng tidak bisa menggantikan Arung). Kecuali semua putra mahkota telah habis dan tidak ada lagi pilihan lain.
Ketika kemanakan Petta To RisompaE yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga Petta MajjappaE Datu TelluE Salassana – digeso’ (tradisi orang Bugis menggosok gigi dengan batu pada saat anak mulai dewasa), diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili Passeyajingeng Bone. Pada saat itulah Petta To RisompaE memberikan kepada kemanakannya itu Pattiro dan harta benda yang pernah dipersaksikan kepada orang banyak sesudah memotong rambutnya.
Selanjutnya We Pattekke Tana diberikan oleh ibunya Mario Riwawo beserta isinya, dan ayahnya memberikan Tanete beserta isinya.
Pada acara maggeso’nya We Pattekke Tana, hadir semua Lili Passeyajingeng Bone, seperti ; TellumpoccoE, LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE Massenreng Pulu, TelluE Batupapeng, Butung, Toirate, BukiE, Gowa, Cappa’galaE dan petinggi-petinggi Kompeni Belanda.
Pada saat itu juga datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan putranya yang bernama La Onro To Palaguna kepada We Pattekke Tana. Petta To RisompaE mengatakan kepada utusan Datu Luwu ; ”Saya bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan perjanjian We Tekke (Pattekke Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun dia nantinya tidak memiliki anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna), apalagi kalau dia berdua melahirkan anak, maka harus mewarisi secara turun temurun tahta sebagai Datu Luwu”.
Permintaan tersebut diakui oleh orang Ware, berjanjilah Puatta MatinroE ri Bontoala dengan MatinroE ri Tompo’tikka untuk mengangkat We Pattekke Tana sebagai Datu Luwu sampai kepada anak cucunya. Kesepakatan ini disetujui oleh orang Ware yang disaksikan oleh TellumpoccoE.
Dari perkawinan We Pattekke Tana dengan La Onro To Palaguna lahirlah Batara Tungke Sitti Fatimah. Kemudian Sitti Fatimah kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Rumpang Megga To Sappaile Cenning ri Luwu. Anak dari We Yasiya Opu Pelai Lemolemo dengan suaminya yang bernama La Ummareng Opu To Mallinrung.
We Fatimah melahirkan tiga orang anak, yaitu ; We Tenri Leleang, inilah yang menjadi pewaris Datu Luwu. Yang kedua La Tenri Oddang atau La Oddang Riwu Daeng Mattinring, dialah yang menjadi pewaris Arung Tanete. Sedangkan yang ketiga La Tenri Angke Datu WaliE, dialah Datu Mario Riwawo.
Merasa usianya semakin renta, La Tenri Tatta To Unru Petta To RisompaE MalampeE Gemme’na memilih untuk menetap di Tanah Mangkasar. Tahun 1696 M. ia meninggal dunia di rumahnya di Bontoala, maka dinamakanlah MatinroE ri Bontoala. La Tenri Tatta Arung Palakka yang juga bernama Sultan Saaduddin dikuburkan di Bonto Biraeng berdampingan dengan makam Sultan Hasanuddin MatinroE ri Bontoala.
(Sumber : Ensiklopedia Sejarah Sulawesi Selatan).

assalamu alaikum

IDI SININNA WIJANNA SOLORENG DATUE, LAO MANENGNI MAI MADDEPPUNGENG SIPORIO SIPORENNU.