Arung Palakka: Sebuah Renungan tentang Filsafat Sejarah Bugis Abad ke-17

Pada tahun 10 Pebruari 1899, Jenderal Van Heutz menyerang Meulaboh. Pertempuran sengit tak terhindar lagi, Teuku Umar tertembak dan mati sahid di medan perang. Arwahnya dijemput oleh tujuh bidadari. Di alam sana tempatnya yang abadi, ia dikawinkan dengan Ainal Mardiah bidadari yang amat sempuma, itulah pemberian Allah sebagai hadiah perang sabil. "Nyawa tubuh dengan harta, belanjakan untuk perang sabil. Sungai-sungai Kalkautsar sangat indah, pembagian Muhammad karunia Rabbi. Penghulu kita memberi pada ummat, yang berkhidmat berperang sabil. Minum seteguk rasa lain, semakin lesat tak terperi. Dijadikan isteri bintang kejora. Cantik jelita sang Bidadari"[1] <#_ftn1> Teuku Umar (1854-1899), Sayidi yang legendaris ini dikenal sangat kontroversial dalam berbagai tindakan, jalan hidup dan taktik bertempurnya selama perang Aceh. Berkali-kali ia berperang di pihak Sang Kafir. Kemudian lari lagi ke pihak Aceh, menyeberang lagi dan lari lagi. Ia juga diangkat sebagai penasehat dan orang kepercayaan Belanda dalam Perang Aceh. Ia menyerang patriot-patriot Aceh dan korban pun berjatuhan akibat ulahnya. Karena sepak terjangnya itu ia dicap sebagi anjing penghianat yang amat laknat, ketika ia gugur di medan perang berakhirlah petualangannya yang kontroversial itu. Peluru /Beulanda Kaphe/ (Belanda Kafir) merenggut jiwanya. Ia gugur sebagai panglima perang Aceh yang sejati, dan ketika jasadnya dikebumikan di samping masjid di Kampung Mugo, orang-orang Aceh menyebutnya Teuku Johan Pahlawan. Tuanku Pahlawan yang perkasa. Jika kita menyimak alur perjuangan Teuku Umar dan menghubungkannya dengan hikayat perang sabil yang menjadi /spirit/ perang Aceh, maka akan tampak bahwa ide yang mendasari keterlibatan Teuku Umar dalam perang Aceh adalah perang melawan Kaphi /"Sabilillah"/ dan tujuan akhirnya adalah /"Sahid"/. Oleh Karena itu, bagi masyarakat Aceh hanya ada satu penilaian yang primer, /Sahid/ dan jalan menuju /Sahid/ adalah /Jihad Fi Sabilillah./
Dalam keadaan yang demikian, faktor-faktor sosial, ekonomi, politik dan lain-lain menjadi faktor sekunder. Keadaan perang yang berkobar ketika itu melahirkan kegiatan berpikir mengenai Hukum Islam yang berkaitan dengan pokok hubungan antara kaum muslim dan yang bukan muslim. Seorang Islam wajib merebut negerinya dari kekuasaan musuh apalagi musuh itu adalah /Beulanda Kaphe/ (Belanda Kafir), jadikanlah pekerjaan mengusir musuh itu sebagi /fardhu ain/, begitulah fatwah ulama. Dari kisah Teuku Umar sang Johan Pahlawan, kita dapat mengetahui bahwa, bagi orang Aceh, perjalanan sejarah tak lain adalah kisah tentang jatuh bangunnya anak manusia yang senantiasa berubah dan dalam fluktuasi itu pintu taubat dan maaf selalu terbuka, karena itu yang terpenting dan di atas segala-galanya adalah realitas dari akhir perjalanan itu, /sahid/. Kalaulah kisah Teuku Umar dalam Perang Aceh digunakan sebagai /imsal/ bagi pijakan imajinasi kita untuk menyingkap nuansa keterlibatan Arung Palakka dalam Perang Makassar 1660-1669, maka kitapun akan mencoba memahami apa sesungguhnya yang terjadi ketika itu dan dari kejadian itu melahirkan kegiatan berfikir apa. Kegiatan berpikir itulah yang paling penting diketahui sebagai suatu upaya akademis untuk menempatkan suatu kejadian pada tempat yang sesungguhnya. Pemahaman terhadap hal tersebut sangat penting artinya dalam memahami dasar filsafat dan etika Bugis yang menguasai jalannya sejarah ketika itu, itulah yang disebut "jiwa jaman" /(zeitgeist)/. Bagi orang Bugis hidup ini adalah harga diri (/siri?/) yang harus selalu dipelihara dan dipertaruhkan agar keseimbangannya dengan yang lain senantiasa terjaga. Apabila seseorang dibuat /siri?/ (/masiri?/) yang menyebabkan harga dirinya terganggu atau hilang, maka oleh masyarakat sekitarnya ia dituntut untuk mengambil langkah menebus diri dengan menyingkirkan penyebab /siri?/ yang merusak keseimbangannya sebagai manusia, karena itu ia wajib menyingkirkan penyebab /siri?/ di matanya sendiri dan di mata masyarakatnya. Masyarakat mengharapkan seseorang yang telah dibuat /siri?/ (/masiri?/) mengambil tindakan karena dirasakan lebih baik mati mempertahankan harga diri (/mate ri siri? na/) daripada hidup tanpa harga diri (/mate siri?/). Mati mempertahankan /siri?/ adalah /mate rigolai, mate ri sangtangi/ atau menjalani kematian yang manis. Ketika seseorang telah melangkah mengambil tindakan untuk mempertahankan dan merebut harga diri (/siri?/ /na/), maka proses awal memasuki dunia sejarah dari seseorang telah dimulai. Bagi orang Bugis masa menyejarah inilah yang sangat penting. Jika Teuku Umar memasuki dunia sejarah melalui Perang Aceh dan berhasil menjangkau tujuan akhir perjalanan sejarah (dalam pandangan masyarakatnya dan pandangan filsafat sejarah Aceh, /Sahid/), maka Arung Palakka telah mengawali keterlibatannya dalam menyejarah, melalui perang Makassar dengan memasuki pintu sejarah melalui pintu yang paling hakiki menurut filsafat sejarah Bugis, yakni menegakkan /siri?/ (harga diri). Hal ini sangat penting karena /siri? /adalah awal segala-galanya. Pemulihan dan penjagaan /siri?/ adalah pula akhir dari perjalanan sejarah bagi orang Bugis. Beberapa saat setelah bobolnya benteng Somba Opu 21 Juni 1669 yang menandai runtuhnya Kerajaan Gowa, Arung Palakka bertanya kepada orang-orang Bone (Bugis): "Wahai orang Bone, kita telah diberi oleh Tuhan yang kita minta, dan sekarang apa gerangan yang ada dalam pemikiranmu. Orang Bone mengatakan, kami ingin membalas perlakuan orang-orang Gowa (Makassar) terhadap orang Bone (Bugis)". Bertanya pula Arung Palakka kepada orang-orang Bone: Sewaktu kalian berperang, apa yang kalian inginkan dalam hati, yang kami inginkan kata orang Bone ialah mengalahkan dan akan membalas tindakan dan perbuatan orang-orang Gowa terhadap kami. Arung Palakka berkata yang mana lebih baik jika kalian yang membalas atau Tuhan Yang Maha Kuasa, dan orang Bone pun menyerahkan pembalasan itu kepada Tuhan" Melalui pernyataan yang luhur ini tak dapat diragukan lagi, bahwa keterlibatan Arung Palakka dan orang-orang Bone dalam perang adalah pemulihan harga diri, Keduanya diikat oleh satu hubungan emosional yang amat dalam, /pésse/. Apakah yang terjadi kemudian setelah itu, satu periode/babak sejarah Sul-Sel berakhir, dan babak baru dalam kronologi sejarah Sulawesi Selatan siap memasuki sebuah era yang baru, era kekuasaan asing (VOC). Satu era sejarah yang ditandai dengan kisah tentang jatuh bangunnya kerajaan-kerajaan besar di Nusantara termasuk Gowa. Kehadiran Arung Palakka adalah realitas sejarah yang dianggap sebagai awal bagi satu babak baru dalam percaturan politik dan kepemimpinan di Sulawesi Selatan yang sudah berjalan cukup lama, sesuatu yang biasa dan akan terus berlangsung dalam sejarah. Setelah kita menutup satu era periode sejarah dalam kenangan waktu, maka kitapun memasuki era Arung Palakka. Era ini sangat penting, tidak hanya bagi orang-orang Bone (Bugis), tetapi bagi seluruh masyarakat Sulawesi Selatan. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan era Arung Palakka adalah era penataan kembali tatanan kehidupan masyarakat setelah melalui periode perang yang panjang. Pertanyaan-pertanyaan sejarah yang riil. Bagaimana struktur masyarakat dan kekuasaan ketika itu, kemajuan sosial yang dicapai ketika itu, bagaimana perkembangan budaya dan pengembangan keagamaan ketika itu. Sampai di mana tingkat perkembangan ilmu pengetahuan ketika itu, bagaimana hubungan internasional yang berlangsung. Bagaimana dengan kekuatan basis ekonomi masyarakat, bagaimana pandangan dunia intemasional ketika itu, bagaimana hak-hak asasi manusia dijalankan dan lain-lain. Persoalan-persoalan ini perlu diketahui, perlu dibicarakan, karena jawabannya adalah bagian yang paling penting untuk mengetahui apakah masyarakat Sulawesi Selatan (Bugis-Makassar) mampu menjaga /siri?-/nya dalam era sejarah yang baru itu atau sebaliknya bahwa di era yang baru itu masyarakat Sulawesi Selatan sudah kehilangan /siri? /seiring dengan kekalahan Gowa dalam perang Makassar. Sejarah pada dasarnya bukanlah hanya hikayat seseorang, melainkan riwayat masyarakat yang penuh dengan berbagai rona dalam dimensi-dimensi; sosial, budaya, agama, ekonomi, sastra, filsafat, politik, birokrasi, seni, undang-undang, adat istiadat, mistik, ritual, simbol-simbol, hak-hak asasi dan banyak lagi. Semua itulah yang memberi nuansa bagi harga diri orang-orang Bugis-Makassar ketika itu. Arung Palakka telah mengantar masyarakat Sulawesi Selatan memasuki suatu era baru dalam babakan sejarah dengan penuh perjuangan, dan generasi sesudah itu seringkali hanya asyik bercerita dan menjelaskan secara rinci dan terkadang emosional tentang keterlibatan Arung Palakka di awal sejarah dalam Perang Makassar. Sementara uraian tentang apa yang dilakukan dan yang dicapai oleh masyarakat sesudah itu tidak banyak dibicarakan. Dewasa ini orang-orang Bugis-Makassar diperhadapkan untuk menjelaskan semua itu dengan jujur. Hal ini sangat penting, karena dari sini dapat diketahui bagaimana upaya yang dilakukan oleh orang-orang Bugis-Makassar mempertahankan /siri?/. Melalui suatu upaya yang cermat dalam memasuki pergantian zaman dengan baik sehingga sekalipun Gowa hancur, Tosara ibu negeri Wajo di bumi hangus dll, orang Makassar-Bugis yang terlibat dalam perang merasa tidak kehilangan /siri?/ (/mate/ /siri?/). Lihatlah misalnya bagaimana kisah keterlibatan Arung Palakka dalam kancah Perang Makassar, dituturkan dalam /Sinrilik Kappala Tallumbatua/. Satu penjelasan yang sengaja direkayasa untuk konsumsi masyarakat desa, dan orang-orang Makassar pedalaman. Bagaimana persepsi masyarakat desa (mayoritas) tentang Perang Makassar, tentang Kerajaan Gowa dan tentang Arung Palakka, sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan persepsi istana, raja-raja, para bangsawan dan kalangan atas tentang Perang Makassar dan Arung Palakka. Persepsi ini juga berbeda dengan yang digunakan oleh sejarawan-sejarawan Barat atau didikan Barat yang hanya melihat abad ke-17 hanya berisi pertentangan antara Kompeni (VOC) dengan raja-raja lokal, dalam rangka persaingan politik ekonomi, dan penguasaan kontrol terhadap jalur perdagangan. Jika kita mau mencoba meninggalkan cara pandang sarjana Barat tentang ide perang Makassar yang bertemakan persaingan ekonomi itu dan mengamati satu persoalan micro historis yang terletak jauh di bawah permukaan sejarah, di sana akan menemukan banyak tema, yang non ekonomis sifatnya, yang justru menentukan jalannya sejarah, tema-tema itu adalah tumpukan kegelisahan masyarakat di satu zaman. Ia bisa saja berwujud kebobrokan kontrol birokrasi, pelanggaran hak-hak azasi manusia, rendahnya kualitas manusia, lemahnya perekonomian negara, korupsi di antara para pejabat, penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab dan banyak lagi. Persoalan-persoalan semacam ini terbenam di bawah arus sejarah politik yang ketika itu di abad ke -17 didominasi oleh persaingan ekonomi antara Gowa dengan VOC. Kalau kita mau mencoba meninggalkan peristiwa macro, dan membicarakan berbagai tema yang berada di bawah permukaan sejarah politik dan ekonomi, maka akan tampak betapa berbagai ragam dan nuansa kesejarahan yang kita temukan. Jika kita membaca sejarah Indonesia seperti apa yang kita ketahui sekarang bahwa Belanda (VOC) adalah satu imperium dagang yang sangat besar di dunia abad ke-17 dan kedatangannya di Nusantara ini tak terlepas dari nafsu ekonomi dagang dan kekuasaan ekonomi, tetapi bagaimana masyarakat desa, rakyat kecil melihat/memahami kedatangan Belanda, sangat berbeda. Mereka memiliki persepsi yang berbeda. Mereka tidak mengenal percaturan politik, persaingan ekonomi, jalur dagang, dll. Yang mereka tahu Belanda datang dan mereka merasakan tatanan tradisionalnya terusik. Ada yang berusaha melawannya secara fisik, ada yang hanya melawannya dengan prinsip, ada yang terpaksa menerimanya dengan pasrah dan ada pula yang menerimanya sebagai suatu kewajaran. Sebagai contoh dikisahkan dalam /Serat Baron Sahendher/ sebuah /pseudo History/ (Jawa) "sejarah semu" yang juga biasa disebut sebagai /legendariry history/ atau legenda sejarah. Dalam /Serat Baron Sahendher/ diceritakan bahwa sesungguhnya kedatangan Belanda ke Jawa adalah sebuah kewajaran yang harus diterima : Tersebutlah dalam /Serat Baron Sahendher/ seorang wanita cantik bernama Dewi Anuranggang. Karena kecantikannya, ia diperistrikan Sultan Jakarta, akan tetapi Sultan Jakarta tak kuasa menghadapi istrinya, karena setiap kali akan ditiduri memancar api dari tubuhnya. Anuranggang dibuangnya dan kemudian ia dipungut oleh Sultan dan mengalami nasib yang sama dengan Sultan Jakarta. Anuranggang dikembalikan pada Sultan Jakarta dan kemudian ia dijual kepada Baron Sukmul seorang anak pedagang kaya dari Gunung Kurbin di Spanyol[2] <#_ftn2> dengan tiga buah meriam, dua di antaranya ialah Ki Gunturgeni, Ki Pamuk. Baron Sukmui kemudian menjadikan Dewi Anuranggang sebagai istri tercinta dan membawanya pulang ke Eropa. Di sanalah Anuranggang melahirkan seorang anak yang diberi nama Murjangkung. Murjangkung kemudian setelah dewasa merasa dirinya berbeda dengan masyarakat di sekelilingnya di Eropa dan ketika ia tahu bahwa ibunya adalah orang Jawa yang dulu disia-siakan oleh Sultan Jakarta dan Sultan Cirebon, Murjangkung kemudian berangkat ke Jakarta untuk membalas dendam sakit hati ibunya kepada Sultan Jakarta dan Sultan Cirebon.[3] <#_ftn3> Karena itulah ketika Belanda mulai menanamkan kekuasaannya di Batavia, rakyat menerimanya sebagai sesuatu yang wajar sebagai hukuman Sultan Jakarta atas perlakuannya kepada Dewi Anuranggang karena bagi orang Jawa Murjangkung tak lain adalah Jan Pietersz Coen: Gubemur Jenderal VOC yang pertama di Batavia. /Serat Baron Sakender/ memang sengaja diciptakan mengikuti alam pikiran orang Jawa pedesaan. Agar mereka ikhlas menerima kehadiran Belanda sebagai /takdir/, sebagai balasan atas kesewenang-wenangan rajanya yang menginjak-injak hak azasi manusia. Kalau kita melihat bagaimana /Sinrilik Kappala Tallumbatua/ diciptakan sebagai /Serat Baron Sakender/ yang dikarang untuk memberi pemahaman kepada rakyat pedesaan tentang kehadiran Belanda sebagai suatu kewajaran. Maka /Sinrilik Kappala Tallumbatua/ pun digubah sebagai suatu penjelasan moral kesejarahan kepada orang-orang Makassar agar mereka menerima kekalahan Kerajaan Gowa sebagai suatu kewajaran sejarah sebagai takdir (/taka dere/) atas kesewenangan-wenangan raja pada hak azasi manusia, sedang perbuatan Arung Palakka digambarkan sebagai seseorang yang tertimpa duka yang amat dalam, dan itu adalah /sare/ atau /were /(takdir). Namun demikian /sare/ atau /were/ masih bisa diperbaiki melalui upaya, usaha dan kerja keras. Karena itulah apapun yang dilakukan oleh Arung Palakka dalam menyejarah adalah bagian dan upayanya memperbaiki /were/ yang diterimanya, dan dijalaninya dengan tabah dan penuh kegigihan melalui apa yang disebut /Mattunru toto/. Bagi orang Aceh, persoalan yang dihadapi Teuku Umar dan masyarakat Aceh yang religius, dan fanatik dalam perang Aceh tidak dianggap sebagai perang karena persaingan ekonomi dan kontra kekuasaan antara Aceh dan Kolonial Belanda, melainkan /Sabilillah/ melawan Kafir. Bagaimanapun juga Belanda adalah Kaphe. Pertentangan ekonomi dan kontra kekuasaan serta berbagai faktor lainnya, adalah tema-tema yang larut dalam /Sabilillah/. Oleh karena itu, apapun yang dilakukan dalam proses sejarah tidak terlalu penting, sebab bagi masyarakat Aceh yang fanatik itu penilaian terakhirlah yang menentukan, /sahid/. Menghadapi perang expedisi penaklukan di berbagai pelosok negeri kita, expedisi kolonial ini melarutkan semua tema yang ada di seputar kedatangan Belanda dalam /siri?/ dan /sahid/ secara bersama. Bisa dibayangkan betapa dahsyatnya perlawanan yang dilakukan di awal abad ke-20 di Sulawesi Selatan. Keperkasaan dan kegigihan itu disenandungkan dalam berbagai nyayian perang, /(elong osong)./
/Elong osong besse tangelo/,
/mata essona Bulo-bulo/,
/osonna I Mandavini Petta Mapute Isie, osonna I Patimbani Dg Maketti Arung Patimpeng/.
/Osong lai-lainna Sidenreng,/
/osong Bawi Mabbosanna Maniampajo,/ dll.

/Iya bela, iya pakkanna/
/e lakallolo, magi muonro/
/aga dega muissenngi makkedae/
/pitu anak dara mabaju eja tajekko ri pammasareng/
/Lesseko keloe ri tenggana jekangnge/ /natoliangao gajang /
/labetta massola-solae /
/Sola-sola mate/
/temmasola-sola mate /
/lebbini mate massola-solae/

Artinya :
Wahai sekalian,
seluruh pasukan perang hai anak muda,
mengapa tersendat maju apakah engkau tak tahu bahwa tujuh orang bidadari berbaju merah menunggumu di pusara
menghindarlah kalian dari tengah jalan
nanti tersenggol senjata si pemberani yang tak takut mati pemberani akan mati yang tidak beranipun juga akan mati
lebih baik mati sebagai pemberani

/He pakkannea/
/idina jowana La Jalante/
/teppallaisenngi lino pammasareng /
/Kegapi muelo mate /
/Jowa engkatona/
/ajjowareng angkatona /
/Temmate tuwoe /
/teilete ri manipi /
/tania kadona /
/He bela/ /sola-sola mate, temmasole-sole mate/
/lebbi I sia mate massola-solae /
/pitu gare wawinnena ri maje/ /mate massola-solae/
/Idi?na wijanna warani pitue /
/bawi mabbosanna Maniampajo /
/tedong tenrilasekna Anabbanua /
/assangirenna malelae/
/attabutturenna picunannge /

Artinya :
He prajurit pasukan perang kami inilah pasukan La Jalante yang tidak membedakan mati atau hidup Kapan lagi kita mau berkorban pengikut telah siap pemimpinpun telah siap Tak mati yang hidup tidak masuk hang lahat yang bukan suratannya He beta pemberani akan mati, yang tidak beranipun akan mati lebih terhormat mati sebagai pemberani Konon kelak disediakan tujuh istri bagi mereka yang mad sebagai pemberani Kitalah ini turunan pemberani yang tujuh Si Babi Gonrong dari Maniampajo Kerbau tak dikebiri dari Anakbanua tempat mengasah keris tempat tertumbuknya peluru[4] <#_ftn4> Senandung nyanyian-nyanyian perang /(Elong Asong)/ ini alunannya melampaui batas-batas wilayah, daerah atau kawasan etnik tertentu. Ketika nyanyian perang semacam ini disenandungkan pula pada tempat lain dan alunannyapun melampui batas wilayah, daerah dan kawasannya, bertautlah untaian liriknya mempersatukan irama zaman. Keadaan semacam inilah yang menautkan "memori kolektif" mereka. Memori kolektif inilah yang menjadi benih tumbuhnya satu kesadaran bersama yang melahirkan suatu tingkah laku kolektif yang ditemukan di mana-mana. Faktor-faktor inilah yang menjadi embrio bagi lahirnya satu /nation/ kelak di kemudian hari. Memperhatikan perjuangan Arung Palakka dalam menegakkan hak azasi manusia yang terinjak-injak ketika itu akibat diperlakukan sebagai budak di luar batas kemanusiaan /(ripoata pupu)/ dan memperoleh kesengsaraan dan perlakuan kasar sebagai pekerja paksa /(anrasarasangnge ri kaee)/ sebagai faktor utama keterlibatannya menyejarah. Tak dapat diragukan lagi tujuan perjuangan itu. Sebagai upaya mencari keseimbangan, dan merebut harga dirinya yang hilang. Persoalannya sekarang adalah sejauh mana perjuangan kemanusiaan yang dikorbankan Arung Palakka ketika itu mampu melampaui batas-batas wilayah, daerah dan kawasannya. Kemudian apakah tema perjuangan kemanusiaan Arung Palakka ketika itu mampu mengalahkan tema yang aktual di abad ke-17 sehingga tema perjuangan kemanusiaan itu dapat diterima secara universal oleh zamannya. Dengan demikian akan tampak bahwa masalah yang perlu mendapat perhatian bukan peristiwa atau kejadiannya, melainkan filsafat sejarahnya, yakni ide keterlibatan Arung Palakka dalam perang, bukan jalannya peperangan.

SEJARAH TEMPAT ARUNG PALAKKA BERSUMPAH

CEMPALAGI MERUPAKAN TEMPAT ARUNG PALAKKA BERSUMPAH
Cempalagi adalah sebuah nama gunung yang terletak di pesisir teluk Bone. Tepatnya di Desa Mallari Kecamatan Awangpone Kabupaten Bone (kira-kira 14 km di sebelah utara kota Watampone). Dilihat dari arah timur (Teluk Bone), ia nampak seperti (maaf) BH yang terapung. Sebelah selatan adalah Gunung Pallette dan yang disebelah utara itulah Cempalagi.
Tidak banyak orang mengetahui sebabnya mengapa gunung itu disebut dengan nama cempalagi. Sebab itu, bagi penduduk di sekitarnya pun saat ini mungkin menganggap nama itu aneh karena terbentuk dari dua kata dari bahasa yang berbeda. Cempa adalah kosa kata bahasa bugis yang berarti ‘asam jawa’ (boleh dalam arti pohon dan atau buah) sedangkan lagi lebih dikenal sebagai kosa kata bahasa Indonesia. Sebuah persambungan yang kurang serasi. Sebenarnya bagi orang bugis yang masih kental dengan bahasa ibunya mungkin pernah mendengarkan kata lagi itu sebagai bagian dari bahasa bugis, meskipun frekuensi yang sangat kecil karena kata itu memang jarang muncul dalam konteks percakapan sehari-hari. Apalagi saat ini kata tersebut posisi penggunaannya yang tepat lebih mudah digantikan dengan kosa kata dari Bahasa Indonesia yang sudah ‘dibugiskan’. Pada redaksi yang tepat lagi dalam bahasa bugis berarti ‘tersedia’. Dengan demikian cempalagi pohon asam yang tersedia. Penjelasan etimologis ini selaras dengan penuturan seorang warga setempat ketika menjelaskan mengapa gunung tersebut diberi nama itu. Menurutnya, dulu digunung itu terdapat pohon asam yang besar yang (tersedia) sering dijadikan sebagai tempat perlindungan di kala terjadi perang.
Terlepas dari keanehan namanya, dengan melihat kondisi alamnya, gunung tersebut sebenarnya mempunyai potensi wisata yang beragam. Potensi wisata tersebut antara lain wisata sejarah, wisata bahari/pantai, dan wisata alam Kaitannya dengan otonomi daerah yang sedang digagas dewasa ini gunung tersebut dapat diperhitungkan sebagai aset yang dimiliki oleh pemerintah Kabupaten Bone di bidang pariwisata.

Wisata sejarah

Dilihat dari sisi historisnya, gunung tersebut merupakan bagian dari rangkaian sejarah Kerajaan Bone yang panjang. Menurut Andi Mappasissi (Ka Meseum Lapawawoi) di gunung itulah Baginda Arung Palakka (Raja Bone) mengucapkan sumpah untuk membebaskan rakyatnya dari ketertindasan sebelum melakukan rangkaian perjalanan panjang ke Kerajaan Buton untuk selanjutnya ke Batavia dan Pariaman; sebuah kerajaan lokal yang eksis di Pulau Andalas ketika itu. Selanjutnya ia menuturkan bahwa hal itu terjadi pada abad ke-17 ketika pasukan Kerajaan Gowa mengejar Arung Palakka dan pengikutnya ketika mengadakan pelarian setelah ia ditawan di Istana Gowa selama beberapa tahun. Sisi yang menarik dari aspek historis gunung itu bukan hanya berupa cerita seperti itu. Melainkan adanya beberapa ‘prasasti’ yang dapat disaksikan di beberapa situs. Ketika Arung Palakka mencapai puncak ‘kemurkaannya’, dengan kesaktian sebagai seorang raja ia mencakar (makkarebbe), menghettakkan tumitnya dengan kuat (mattuddu) dan bersumpah (mattanro) untuk membebaskan masyarakatnya pada suatu ketika. Ketiga hal yang dilakukan oleh Arung Palakka ini melahirkan tiga prasasti yang dimaksud yang berupa bekas cakaran (akkarebbeseng), bekas hentakan kaki/tumit (attuddukeng). Keduanya di atas batu. Kemudian sumpah untuk membebaskan rakyatnya dari segala ketertindasan dibuktikan dengan simpul (singkeru’) karena dalam tradisi orang bugis keseriusan sumpah biasanya dilambangkan dengan simpul mati. Maka dari itu prasasti tersebut dikenal dengan nama assingkerukeng.
Masyarakat di sekitar kawasan tersebut pasti mengenal betul di mana ketiga prasasti itu berada. Akkarebbeseng (bekas cakaran) ditemukan pada batu di dinding gua sebelah kiri ketika turun sebelum mencapai sumur. Bagi masyarakat setempat gua tersebut disebut liang laung’e (gua yang lama). Dikatakan demikian karena gua tersebut merupakan gua pertama di antara dua gua yang sering dikunjungi sebagai tempat rekreasi. Assingkerukeng (simpul) diketemukan di sebuah gua di sebelah utara gunung (dekat pantai). Uniknya yang disebut sebagai assingkerukeng itu berupa batu yang bentuknya lain dari pada yang lain. Sampai saat ini tempat tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan banyak dikunjungi orang memberikan sesajen untuk memohon berkah. Layaknya di tempat keramat lainnya, di tempat ini pengunjung harus menjaga sikap untuk menghindari kualat makhluk ghaib yang menghuninya. Attuddukeng diketemukan di kaki gunung sebelah timur (tidak jauh dari pemukiman penduduk) di atas lempengan sebuah batu berupa lubang yang berukuran kira-kira 35 cm. Sebenarnya tempat itu merupakan bagian dari laut. Maka dari itu ia hanya kelihatan saat pasang sedang surut. Uniknya, meskipun berada di bagian laut, mata air yang menggelembung dari bawah dijadikan sebagai sumber air tawar oleh penduduk setempat di kala musim kemarau. Sebenarnya bila dilihat fisiknya sekarang, mungkin susah dipercaya bahwa lubang tersebut sebagai bekas kaki Arung Palakka karena terlalu besar untuk ukuran kaki. Akan tetapi boleh jadi keunikan itulah sehingga diperlebar oleh masyarakat setempat demi memenuhi kebutuhan akan air tawar pada waktu-waktu tertentu. Atau boleh jadi ukuran kaki Arung Palakka memang melebihi ukuran kaki orang lain pada umumnya. Pada kunjungan terakhir penulis ke tempat tersebut, (Desember 2009), lubang yang disebut sebagai attuddukeng itu, semakin jauh dari bentuk aslinya.

Wisata Pantai/Bahari

Pesona cempalagi sebagai ajang rekreasi bukan hanya sebatas paparan di atas. Letaknya di pesisir teluk Bone sebenarnya memungkinkan untuk dikembangkan menjadi obyek wisata pantai dan wisata bahari. Sebagai pantai, cempalagi menjanjikan panorama yang elok. Di pagi hari yang cerah, orang dapat menyaksikan bagaimana sang surya perlahan menampakkan diri dari persembunyiannya, mengawali perjalanan panjangnya 12 jam ke depan. Ia bagaikan muncul di antara gelombang laut yang saling berkejaran. Dengan warnanya yang kemerah-merahan menyinari rimbunan pohon di sepanjang pegunungan yang masih perawan, hembusan angin laut, perahu nelayan saling berkejaran, burung laut yang sedang asyik main kucing-kucingan dengan mangsanya, kondisi masyarakat yang masih bersahaja, semuanya berpadu menggambarkan orsinalitas makhluk Tuhan.
Dengan hembusan angin laut dan keindahan pantai yang membentang sekitar 4 km ini pengunjung dapat menikmati beberapa kegiatan rekreatif baik di kala pasang sedang suraut maupun di kala sedan naik. Di kala pasang sedang surut orang dapat menyusur pantai sambil mencari kerang laut dan kepiting, dan makan nasi sambil menguliti tiram mentah (enak loh). Di kala pasang sedang naik, orang dapat menikmati bagaimana berenang di lautan lepas karena pantainya landai, berlayar, bahkan dapat di jadikan sebagai arena beberapa cabang olaraga yang dilombakan di berbagai event seperti dayung, layar, ski air, dan lain lain. Sayang fasilitas seperti ini belum diadakan.
Selain itu pada kejauhan sekitar 1,5 mil dari pantai terdapat apa yang oleh penduduk setempat disebut bone. Berupa pasir putih seluas 2,5 KM persegi. Tempat ini juga hanya kelihatan ketika pasang sedang surut. Pada saat-saat tertentu masyarkat setempat biasa menjadikan tempat ini sebagai ajang perburuan ikan. Karena ketika pasang sedang surut, banyak ikan yang terjebak di genangan air yang dikelilingi oleh tumpukan pasir. Ketika pasang sedang naik, air di kawasan ini jernih maka dari itu, cocok untuk dikembangkan menjadi taman laut untuk keperluan wisata bahari yang menjanjikan pemandangan antara lain ikan, makhluk laut lainnya

Wisata Alam

Obyek wisata lainnya adalah sebuah gua yang letaknya di tengah gunung Cempalagi. Bagi penduduk setempat gua tersebut disebut sebagai liang baru’e (gua yang baru). Disebut demikian karena gua ini baru dikunjungi sebagaii tempat rekreasi pada tahun 1980 oleh Massaude (seorang pemimpi yang ‘berkebangsaan’ Soppeng). Sebelumnya gua tersebut tidak banyak dikunjungi orang. Penduduk setempat hanya masuk dengan keperluan mengumpulkan kotoran kelelawar yang biasa digunakan sebagai pupuk kandang. Belum ada yang mengetahui dengan pasti ukuran gua tersebut. Hal itu karena banyaknya lorong yang belum dijangkau. Lorong yang sering dilalui memerlukan waktu 2 jam perjalanan uantuk sampai pintu belakang yang menghadap ke laut. Itupun hanya dilakukan dengan bantuan lampu petromaks sebab keadaannya yang demikian gelap, banyaknya lorong, sesekali ada tebing dan jurang yang terjal sehingga sangat riskan ditelusuri dengan bantuan obor apalagi tanpa alat penerang sama sekali. Bahkan tanpa bantuan jasa pemandu pengunjung dapat tersesat pada lorong-lorong yang berupa lingkaran setan. Selain sebagai petualangan menarik, obyek yang dijanjikan adalah antara lain rembesan air dari atas menembus atap gua kemudian membeku membentuk bebatuan yang beragam, kesejukan berada di dalam perut bumi, bagaimana tetesan air dari akar pepohonan, romantika bagi mereka yang sedang bercinta dan lain-lain. Pokoknya tanpa disadari pengunjung akan larut dalam renungan, melakukan tadabbur alam secara refleks yang berujung pada ungkapan betapa kuasa pencipta semua ini dan ungkapan kekaguman yang lain. Tidak akan ada pengunjung yang pulang dalam keadaan hampa akan kesan.